Menang Pilkada Sumut Terpilih 2018-2023, Edy Rahmayadi Tak Mau Mundur dari Ketum PSSI

Editor: metrokampung.com

Medan-metrokampung.com
Edy Rahmayadi memastikan tidak akan mundur dari posisi ketua umum PSSI hingga masa jabatannya habis pada tahun 2020 mendatang.

Pasangan Musa Rajeckshah dalam pilkada Sumut tersebut keukeh rangkap jabatan.

Edy pun menjamin tetap fokus memimpin PSSI dan menyiapkan program jangka panjang.

Posisi Edy sebagai ketua umum PSSI memang sedang jadi sorotan.

Pasalnya, di waktu bersamaan, Edy juga sukses memenangi Pilkada Gubernur Sumatera Utara tahun 2018.

Otomatis, Edy pun akan menjabat sebagai Gubernur Sumut 2018-2023.

“Iyalah, masak mau berhenti besok. Amanah rakyat saya sampai tahun 2020 dan saya akan kerjakan. Ini ada sekjen yang mana setiap hari kami selalu berbicara tentang sepak bola. Kami selalu bicara bagaimana PSSI ke depan,” kata Edy.

Menurut Edy, PSSI akan tetap berjalan sesuai dengan program yang sudah dibuat meskipun nanti dia menjabat Gubernur Sumut.

Bahkan, Edy menyebut PSSI sudah membuat program hingga tahun 2024 yang disusu oleh Sekjen PSSI, Ratu Tisha.

“Begini saudara-saudara saya semuanya, tolong sampaikan pada seluruh rakyat Indonesia. Rencana dan konsep (PSSI) sudah dibikin sampai 2024 oleh Sekjen dan dia terus berjalan. Saya ada di mana organisasi sudah berjalan,” papar Edy.

Edy juga berharap PSSI terus mendapatkan dukungan dari masyarakat Indonesia.

Dia berharap PSSI bisa bersinergi dengan masyarakat untuk membesarkan sepak bola Indonesia agar menjadi lebih baik lagi.

“Jangan tergantung pada saya. Ini orang senang sekali mau di tengah jalang diganti. Diaggapnya PSSI seperti politik, tidak. Ini adalah pembinaan sepak bola. Tolong sampaikan pada rakyat, besarkan PSSI dan kerjakan dengan baik,” tutup mantan Pangkostrad itu.

Larangan untuk rangkap jabatan sudah diatur dalam surat edaran Mendagri. Dimana isinya melarang kepala daerah, pejabat publik, termasuk wakil rakyat maupun PNS rangkap jabatan pada organisasi olah raga seperti koni maupun PSSI.

Penegasan larangan tersebut disampaikan melalui surat edaran Mendagri yang dikeluarkannya nomor : 800/2398/sj tertanggal 26 Juni 2011 yang pernah dikeluarkan pada zaman Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi.

Surat edaran tersebut sebagai penegasan atas UU Nomor 03 tahun 2005 tentang Sistem Olahraga Nasional dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 16 tahun 2007 tentang penyelenggaraan keolahragaan.

Dalam surat edaran itu, kepala daerah juga diingatkan mengenai adanya sanksi bagi kepala daerah, pejabat publik, PNS yang akan dijatuhkan jika tetap dengan sengaja merangkap jabatan.

Surat edaran menjadi penegasan atas Pasal 40 UU Nomor 03 tahun 2005 tentang Sistem Olahraga Nasional dan Pasal 56 ayat 1 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 16 tahun 2007 tentang penyelenggaraan keolahragaan.

Dimana ayat 1 hingga 4 ditegaskan larangan bagi kepala daerah, pejabat publik, dan PNS merangkap jabatan di organisasi keolahragaan.

Sanksi yang akan diberikan dalam UU tersebut, salah satunya adalah pembekuan organisasi yang dijabat oleh kepala daerah atau pejabat publik. Sedangkan pejabat yang merangkap jabatan ada sanksi tersendiri yang akan dijatuhkan.

Seperti yang dilansir kemendagri.go.id banyak pihak menilai, senangnya kepala daerah atau pejabat publik rangkap jabatan dengan menjadi Ketua Umum olahraga misalnya, lebih disebabkan karena ingin untuk mendapatkan dukungan suara, tambahan pendukung dan posisi status.

 Jika memimpin organisasi seperti KONI maka, minimal kepala daerah yang bersangkutan memiliki dukungan dari pengurus KONI yang diangkatnya. Belum lagi organisasi itu mendapatkan dukungan pendanaan dari APBD setempat.

Disamping itu, pada moment tertentu ketika ada penyelenggaraan olahraga tingkat daerah, maka sebagai ketua organisasi, yang bersangkutan akan tampil dihadapan penonton membuka sekaligus membawakan sambutan, sehingga secara politik kepala daerah tersebut akan semakin dikenal.

Mantan Wakil Ketua Komisi II DPR RI LM Jeni Hasmar pernah mengatakan, rangkap jabatan kepala daerah idealnya tidak boleh dilakukan, sebab dengan dua jabatan yang diembannya, maka hal itu akan membuat yang bersangkutan tidak fokus dalam menjalankan tugasnya. Apalagi jika yang bersangkutan adalah kepala daerah.

Apalagi jika jabatan yang diketuainya itu sama-sama didanai oleh pemerintah baik melalui APBN atau APBD, yang tentunya membutuhkan pertangungjawaban, sebab sama-sama mengunakan keuangan negara.(red)

Share:
Komentar


Berita Terkini