Terkait Permasalahan HTR di Sei Kepayang, Penerbitan IUPPHK HTR Bupati Asahan Dituding Maladministrasi

Editor: metrokampung.com

Tanjungbalai-metrokampung.com
Terkait permasalahan Hutan Tanaman Rakyat (HTR) yang dikelola Koperasi Tani Mandiri di Desa Perbangunan Kecamatan Sei Kepayang Asahan, beberapa elemen masyarakat menilai bahwa penerbitan Izin Usaha Pengelolaan Hasil Hutan Kayu-HTR (IUPHHK-HTR) sesuai SK Bupati Asahan dengan Nomor 438/Hutbun/2010 dituding sebagai  Maladministrasi atau cacat administrasi. Karena penerbitan izin itu tidak sesuai dengan peruntukannya bahkan dalam penerbitan izin itu terkesan seperti dipaksakan untuk kepentingan pihak tertentu.

Hal itu disampaikan Hj. Syahrani Harahap Ketua LSM Paguyuban Anti Diskriminasi Indonesia (Padi) Kabupaten Asahan didampingi Budiman Nainggolan perwakilan petani yang terkena dampak program HTR dalam konferensi persnya didepan beberapa wartawan, Selasa (7/8) dikantornya di Jalan Ikan Nila No 09 Sidomukti Kisaran Kabupaten Asahan.

" Permasalahan antara petani dengan pihak pengelola kawasan HTR selama ini adalah pemberian izin pengelolaannya. Bagaimana bisa izin pengelolaan HTR sesuai SK Bupati Asahan sebahagian berada di Kabupaten Labura. Sepertinya penerbitan izin itu tidak sesuai peruntukannya dan terkesan dipaksakan," sebut Hj. Syahrani.



Dalam konferensi pers itu dijelaskannya, luas kawasan HTR sesuai izin pengelolaan yang diterbitkan tersebut adalah seluas 1.262,61 hektare. Sementara dari jumlah itu, sekitar 601,40 Ha berada diluar areal Kabupaten Asahan karena terletak di wilayah Kabupaten Labura. Sehingga Pemkab Labura juga sudah menyurati kementerian terkait agar kawasan itu dikelola oleh pemerintahan setempat.

Sementara sisanya sekitar 659,79 Ha yang dicanangkan menjadi kawasan HTR berada di Desa Perbangunan Asahan dan merupakan diatas objek lahan sawit masyarakat. Namun pada prakteknya dilokasi, luasnya tidak sesuai dengan luas yang semestinya menjadi areal HTR. Pasalnya, luas areal HTR yang dikelola di Desa Perbangunan Sei Kepayang itu hampir mencapai ribuan hektare, terhitung 7 Blok mulai dari Blok 12 sampai Blok 18 dengan rata-rata luas perblok 200 hektar. Sehingga menurutnya, pihak pengelola HTR diduga telah sengaja merubah titik koordinatnya untuk menggantikan areal yang telah diambil alih oleh Pemkab Labura sehingga menimpah objek yang telah dikuasai masyarakat petani.

Hj. Syahrani juga mengatakan, hal itu juga sudah dibahas saat pertemuan antara masyarakat petani dengan pihak pengelola HTR bersama perwakilan Balai Perhutanan Sosial Kemitraan Lingkungan (BPSKL) Sumut di kantor KPH Wilayah III Kisaran Kamis (2/8) lalu. Dikatakannya, dalam pertemuan itu terungkap bahwa pencadangan awal HTR seluas 5.000 hektare, namun sekitar 1.262,61 Ha yang diterbitkan izinnya dimana sebahagian terletak diwilayah Labura. Dan dalam pertemuan itu sambung Hj. Syahrani, pihak KPH Wilayah III Kisaran yang juga hadir mengakui telah terjadi kesalahan pemberian izin tersebut.

"Saat pertemuan dengan BPSKL baru baru ini, Kepala KPH Wilayah III Kisaran Wahyudi mengakui memang ada kesalahan penerbitan izinnya. Tetapi persoalan nya, kenapa waktu itu izinnya tidak dianulir ?. Sehingga permasalahan nya tidak berkepanjangan sampai saat ini," tukas Hj. Syahrani.

Akibat kesalahan izin itu, sambung Hj. Syahrani, lahan masyarakat yang telah dikuasai dan ditanami sawit selama puluhan tahun lamanya, saat ini diklaim menjadi kawasan HTR. Ironisnya, ketika masyarakat petani (pemilik tanaman kelapa sawit-red), yang mencoba menolak selama ini justru mendapat intimidasi, bahkan sudah 2 tahun sampai saat ini lahan masyarakat tersebut dikuasai pihak pengelola HTR.

Senada juga dikatakan Budiman Nainggolan dalam konferensi pers itu itu juga menyebutkan, legalitas hukum Koperasi Tani Mandiri selaku pengelola HTR patut dipertanyakan. Karena menurutnya, untuk menjalankan SK Menteri No.163/Menhut-II/2008 tentang program HTR, pihak koperasi kembali membentuk akte pendirian/izin koperasi yang baru dengan nama, lokasi yang sama tertanggal 11 September 2011 dengan SK No.132/KOP/BH/XI/2011, dan tanpa melalui adanya RAT sebagai rapat tertinggi sebuah koperasi.

Padahal seharusnya sambungnya, untuk menjalankan SK menteri itu adalah koperasi yang melakukan permohonan pengajuan HTR yaitu Koperasi Tani Mandiri dengan SK 100/BH/KDK.2.10/VI/1999. Sehingga hal itu dinilainya telah terjadi tumpang tindih perizinan dengan nama dan lokasi koperasi yang sama sehingga sangat patut dianggap sebagai cacat hukum maupun cacat secara administrasi, karena sesuai SK Bupati Asahan No 1 poin 4 menegaskan bahwa izin IUPHHK-HTR tidak dapat dipindahtangankan.

Untuk itu mereka berharap dalam permasalahan HTR Mandiri sekarang ini, pemerintah dalam hal ini pihak-pihak yang terkait supaya meninjau kembali terkait perizinan Koperasi Tani Mandiri selaku pengelola HTR dan melakukan pengukuran ulang titik koordinat kawasan HTR dan hasilnya harus dipublikasikan ke masyarakat agar mengetahui letak dan titik koordinat HTR yang sebenarnya, serta luas wilayahnya secara konkrit, mengingat selama ini masyarakat telah terkena dampak dari permasalahan HTR dan telah menimbulkan konflik berkepanjangan dan kerugian bagi masyarakat dikarenakan tanaman sawit masyarakat telah dikuasai serta dipanen oleh pemegang izin HTR

"Jangan jadikan korban pihak masyarakat yang telah lama menguasai lahan karena kesalahan pemberian izin HTR," ucap Budiman. (silaban/simon)
Share:
Komentar


Berita Terkini