FITRA Sumut : Pemprovsu Belum Serius Mengelola Anggaran Covid-19 dan Penyaluran Bansos

Editor: metrokampung.com
Siska Barimbing, Koordinator Advokasi dan Kajian Hukum FITRA SUMUT.

Medan, metrokampung.com
FITRA Sumut menyoroti anggaran Pemprovsu di TA 2020. Pemerintah Sumatera Utra seharusnya  mengalokasikan proporsi anggaran yang lebih besar untuk bidang kesehatan menginggat permasalahan utama saat ini adalah penularan virus Covid-19. Fokus pada penanganan dibidang kesehatan agar proses pemulihan cepat berlangsung dan perekonomian dapat berjalan kembali. 

Belanja-belanja yang tidak terlalu urgen dan dapat dioptimalkan seperti rapat-rapat dan belanja pegawai seharusnya bisa dialokasikan untuk penangangan medisnya. Demikian diungkapkan Koordinator Advokasi dan Kajian Hukum FITRA SUMUT, Siska Barimbing, Kamis (14/05/2020).

Siska menuturkan, pada konferensi  pers yang disiarkan secara langsung pada tanggal 28 April 2020 lalu, Plt Kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah Sumut, Dr Ismael Parenus Sinaga menyatakan bahwa Pemprovsu telah mengalokasikan anggaran penangan Covid-19 sebesar Rp. 1,5 Triliun yang akan direalisasikan melalui 3 (tiga) tahap yaitu  Tahap I sebesar Rp. 502.000.000.000.00. untuk pendanaan Kesehatan (medis) dan pendukung (non medis) Rp191.797.800.000,00.

 Fasilitasi Dampak Sosial (JPS) sebesar Rp.300.302.200.000.00, dan untuk Fasilitasi Dampak Ekonomi Rp. 10.000.000.000.00. 
Untuk Sumatera Utara yang terdiri dari 33 Kabupaten/Kota dimana berdasarkan Data Provinsi Sumatera Utara Dalam Angka Tahun 2020 berpenduduk sebesar 14.562.549 jiwa. Anggaran ini belumlah dapat dikatakan besar.

"Proporsi alokasi anggaran untuk kesehatan hanya sebesar 38,20% dari Total anggaran Tahap I. Menurut Siska Barimbing, dalam hal ini Pemprovsu belum cukup serius untuk menangani persoalan di bidang kesehatan. Dan tidak heran masih saja ditemukan keluhan-keluhan kekurangan Alat Pelindung Diri dari tenaga medis di berbagai kabupaten/kota," katanya.

"Dari total Anggaran Kesehatan (Medis) ini juga dilokasikan untuk anggaran non medis sebesar Rp. 55.335.486.000  atau sebesar 28,85% dimana Rp. 40.000.000.000 untuk anggaran Sekretariat Gugus, BPBD dan Dukungan OPD Terkait atau sebesar 72,29% dari total anggaran Non Medis. Ini patut dipertanyakan urgensinya," kata Siska.
 
Agar transparan dan dapat mengukur kemampuan keuangan, lanjut Siska, Pemprovsu harus mempunyai data acuan berapa biaya yang dibutuhkan untuk penangangan 1 orang pasien sembuh, pasien meninggal, PDP dan ODP.  

Anggaran untuk Fasilitasi Dampak Sosial mendapat proporsi yang cukup besar yaitu 59,81% dari total anggaran Tahap I, dimana Pendistribusian Bantuan berdasarkan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) untuk 1.321.426 Kepala Keluarga (KK) dengan rincian 662.661 KK dari program Program Keluaraga Harapan (PKH); 662.762 KK dari Bantuan Sosial Tunai (sumber dana APBN) dan 96.644 KK dari APBD Sumut. 

Yang perlu menjadi perhatian dalam hal ini adalah peningkatan jumlah orang dengan masalah kesejahteraan sosial akibat kebijakan social distance dan physical distance, oleh karenanya kriteria penerima bantuan berdasarkan  DTKS patut validasi ulang dengan mengacu kepada Surat Edaran KPK Surat Edaran KPK RI  Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Penggunaan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) dan Data Non-DTKS dalam pemberian Bantuan Sosial Kepada Masyarakat. 

Dalam Surat Edaran ini KPK merekomendasikan agar penduduk yang seharusnya berhak menerima bantuan namun datanya tidak ada dalam DTKS tetap dapat menerima bantuan dengan cara data penerima bantuan baru tersebut harus segera dilaporkan ke Dinas Sosial atau Pusat Data dan Informasi Kesejahteraan Sosial (Pusdatin Kesos) Kementerian Sosial untuk diusulkan masuk ke dalam DTKS sesuai dengan peraturan yang berlaku, momentum ini juga dapat digunakan untuk memvalidasi DTKS yang selama ini dinilai kurang valid. Agar validasi dapat dilakukan dengan cepat, tepat dan akurat keterlibatan organisasi masyarakat sipil dapat dilibatkan.

"Hal yang paling penting juga adalah pengelolaan anggaran penanganan Covid-19 harus dilakukan secara transparan dan akuntabel, pemerintah harus membuka akses informasi tentang perkembangan alokasi penggunaan anggaran dan tidak hanya menyajikan informasi secara gelondongan namun dengan rincian dan kemana saja dialokasikan sehingga dapat diawasi oleh DPRD, Aparat Penegak Hukum dan organisasi masyarakat sipil sebagaimana tertuang dalam UU No. 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik. Jangan sampai adanya pengawasan dan pendampingan dari BPKP dan KPK RI menjadi legitimasi bahwa pengelolaan anggaran telah sesuai dengan peraturan,tegasnya.(Ver/mk)
Share:
Komentar


Berita Terkini