Inpres No.1 tahun 2016 Dinilai Bentuk Ketidakkonsistenan Terhadap Pemberantasan Korupsi

Editor: metrokampung.com

HUMBAHAS-METROKAMPUNG.COM
Komitmen penegakan hukum atas tindak pidana korupsi di Negara Republik Indonesia seolah-olah hanya bertumpu pada operasi tangkap tangan (OTT). Situasi tersebut seakan menggambarkan  ketidakkonsistenan pemerintahan Joko widodo dan Jusuf Kalla dalam mewujudkan indonesia bebas korupsi. Hal tersebut dapat dilihat secara parcial berdasarkan kongkretifitas keadaan yang terjadi selama kurun waktu berjalan nya pemerintahan yang bermottokan “ Hebat “ ini. Sebab, langkah-langkah penyelidikan dan penyidikan oleh aparat hukum kepolisian dan kejaksaan sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak lagi menjadi penegasan yang begitu jelas dalam menindak pelaku-pelaku pelanggaran tindak pidana korupsi yang ditemukan didalam sistem pengelolaan keuangan negara dengan mempolitisasi kebijakan anggaran yang seyogiyanya tidak tepat sasaran (dalih mengambil keuntungan).

Terbitnya Instruksi presiden Nomor 1 tahun 2016 tentang percepatan pelaksanaan proyek strategis nasional yang ditandatangani pada tanggal 8 januari 2016 lalu semakin memberi pengakuan atas kondisi dimaksud. Oleh karena terbitnya Inpres No.1 tahun 2016 ini,optimalisasi peyelidikan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum terkesan terhambat. Hal itu ditegaskan dalam intruksi keenam point 1 s/d point 3. Dalam poin 1, Presiden mengintruksikan kepada Jaksa Agung RI dan Kepala Kepolisian RI untuk mendahulukan proses administrasi pemerintahan sesuai ketentuan undang-undang No. 30 tahun 2014 tentang administrasi pemerintahan sebelum melakukan penyidikan atas laporan masyarakat yang menyangkut penyalahgunaan wewenang dalam pelaksanaan proyek strategis nasional.

Selanjutnya di point 2, Presiden mengintruksikan kepada Kajagung dan Kapolri untuk meneruskan atau menyampaikan laporan masyarakat yang diterima kepada pimpinan lembaga atau pemerintah daerah untuk kemudian dilakukan pemeriksaan dan tindak lanjut penyelesaian atas laporan masyarakat, termasuk dalam hal diperlukan adanya pemeriksaan oleh aparat pengawasan Intern Pemerintah (APIP) atau Inspektorat. Pada point 3, Bapak Presiden justru memerintahkan Kajagung dan Kapolri  agar melakukan pemeriksaan ketika Pimpinan lembaga atau pemerintah daerah menyampaikan hasil audit aparat pengawasan intern pemerintah mengenai temuan tindak pidana yang bukan bersifat administratif.

Dari 3(tiga) point ini dapat disimpulkan bahwa upaya penyelidikan dugaan tindak korupsi pada sistem pengelolaan keuangan negara dilingkungan lembaga/pemerintahan daerah hanya dapat dilakukan jika atas permintaan atau penyampaian pimpinannya. Dengan kata lain, “ Maling tidak akan pernah menyerahkan dirinya kepada penegak hukum”.

Hal sebagaimana dimaksud juga diakui oleh lembaga aktivis ternama yakni Indonesia Corupption Wacth (ICW). ICW menilai keluarnya Inpres No. 1 tahun 2016 ini menjadi penyebab menurunnya kinerja penyelidikan aparat penegak hukum. ICW juga memandang, aturan ini membuat penanganan korupsi oleh aparat terkait tidak dipublikasikan secara transparan. “ kita memang belum menemukan indikator yang pasti atau bukti yang nyata karena kasus korupsi yang kita lihat barulah yang merilis resmi oleh institusi penegak hukum.

Namun dengan menurunnya tingkat penindakan kasus korupsi selama kurun waktu ini, hal ini diduga terkait satu sama lain,” kata Febri Hendri peneliti dari ICW minggu,(29/8/2016) dikantor pusat Kalibata, Jakarta selatan.

Disadari Inpres ini dibuat dalam rangka melakukan percepatan pelaksanaan proyek-proyek strategis nasional yang sedang dijalankan pemerintah. Namun ICW menyoroti beberapa poin dalam Inpres itu justru membuka celah bagi beberapa kasus untuk diselesaikan “ secara adat “ saja, bahkan hilang dari sorotan publik. Beberapa poin krusial dalam Inpres ini berdasarkan hasil riset ICW diantaranya yaitu, : pertama, adanya instruksi untuk melaporkan terlebih dahulu segala tindak penyelewengan yang terjadi kepada mekanisme penyelesaian internal. Kedua, adanya instruksi untuk tidak mempublikasikan langsung laporan yang ada kepada publik sebelum tahap penyidikan.

Selain akibat Inpres, ICW juga menduga bahwa menurunnya kinerja penyelidikan aparat penegak hukum dikarenakan adanya pemotongan anggaran. Untuk itu ICW menyarankan pelaksanaan Inpres ini ditinjau ulang, karena berpotensi melindungi pejabat yang melakukan penyalahgunaan wewenang.

Menteri PUPR Basuki Hadimuljono dalam siaran pers nya mengakatan, aturan hukum ini hanya akan memayungi proyek-proyek strategis yang menjadi prioritas pemerintah.

Danis H. Kusumadilaga, staff ahli menteri PUPR bidang keterpaduan pembangunan kepada media pernah mengatakan bahwa Inpres tersebut merupakan benteng atas pelaksanaan kebijakan yang dijalankan. Sebab, sebelumnya sejumlah pejabat pemerintah pusat dan daerah kerap mengeluhkan adanya kriminalisasi terhadap kebijakan yang mereka jalankan. Kerena itu, diskresi dalam penyelesaian hambatan dan perlidungan hukum masuk dalam salah satu dari tiga langkah kebijakan dalam paket kebijakan ekonomi tahap I yang diluncurkan bapak Presiden. (Fir/simon)
Share:
Komentar


Berita Terkini