KARO – METROKAMPUNG.COM
Seorang praktisi bisnis kopi mengatakan bahwa ekport kopi Indonesia menurun. Tapi kalimat itu dibiarkan penggal sejenak, sebelum ia melanjutkan lagi. Pertumbuhan kebun kopi meningkat. Dua peryataan yang kontradiktif dan membuat siapapun yang mendengarnya akan bertanya, koq bisa? Dan jawabanya ternyata simple, permintaan konsumsi kopi dalam negeri sedang meningkat.
Indonesia, terkenal dengan adem ayem dan selalu muncul dibagian belakang percaturan ekonomi agrobisnis. Pun demikian, Taneh Karo Simalem, tanah budaya nan subur di khatulistiwa ini siapa yang mengira kopi akan menjadi samurai ekonomi baru. Kejadiannya belum lama berselang koq. Masih hangat dan kata pengamat bisnis kopi, trend permintaan kopi lokal akan terus meningkat seiring munculnya penikmat baru, kaum milenial. Karo bergeliat dan bersolek dengan pesona kopi.
Pohon kopi mulai satu demi satu tumbuh di kampung halaman. Hati kecilku bertanya, apakah ini salah satu cara mengembalikan rasa bangga menjadi petani ‘beruang’. Sepertinya tidak dan jika melihat petani kopi, tidak ada rasa ceria menjelaskan jumlah uang yang diterima setiap kali pulang dari tempat pengepul.
Caranya menyampaikan hasil jualan, tentu tidak seindah ketika bicara tentang harga jeruk pada masanya. Hidup seperti roda berputar, kata seorang teman yang baru kembali menjual kopinya. Pulang dengan sepeda motor bututnya sebagai ganti mobil TAFT yang dulu pernah menjadi sahabat karibnya keluar masuk ladang jeruk.
Bekas tiang-tiang relief ala Spanyol di depan rumah masih menyisakan tanda-tanda manisnya jeruk Berastagi kala itu. Atau rongsokan mobil yang dibiarkan dimakan hujan dan panas matahari karena tidak ada dana untuk memperbaikinya.
Semua sudah berubah. Cerita tentang kebanggan masuk PNS, POLISI dan TNI sudah jarang terdengar, maklum di kala itu, untuk masuk dalam jajaran pegawai pemerintah, sudah menjadi rahasia umum, hepeng do na mangatur nagara on...ada uang ada barang.
Gelar dan jabatan ternyata juga tidak jauh dari gelimangan harta. Tentu tidak elok menceritakan aib sendiri, tetapi itulah nyatanya. Sudah jatuh, tertimpa tangga pula, begitulah cerita petani Karo yang harus mengelus dada ketika melihat kol atau tomat mereka kehilangan daya jual di pasar karena debu dari erupsi Gunung Sinabung.
Kakek yang maha dahsyat itu memuntahkan batuk abunya setiap hari. Dan setiap hembusannya bercerita tentang duka cucu-cucunya yang kini harus mengungsi. Proses alam ini tentu bukan terjadi kali ini saja. Tiga ratus tahun lalu ia juga pernah memuntahkan amarahnya dan sejak saat itu ia berhenti.
Selama tiga ratus tahun itu, tanah di sekitar dataran tinggi Karo menjadi tanah penuh berkat melimpah. Sayur mayur dan buah menjadi primadona Sumatera Utara dan juga Singapura. Udara segar dan tanah subur bekas debu gunung adalah rahmat yang disykuri. Ketenangan alam tercermin dalam diri masyarakat Karo.
Tetapi alam memiliki hukumnya sendiri, lalat buah, gunung sinabung membuat dataran tinggi karo berubah menjadi tempat yagn tidak senikmat dulu. Pemandangan hijau berubah menjadi debu gris karena abu gunung. Anda hanya bisa berdoa pada Tuhan dan berharap semua segera berakhir, tidak ada cara lain. Alam adalah alam, kita tunduk sepenuhnya padanya. Pilihan selanjutnya adalah melangkah menjaduh dari jarak 6 km dari kaki Sinabung.
Alam tetaplah rumah terbaik kita, pada satu sisi ia berteriak marah, tetapi di sisi lain ia memberikan kehidupan baru. Kopi. Aroma kopi yang dulu dipandang seperempat mata, kini menjadi daya tarik tak ternilai. Harga kopi berubah menjadi buah bibir. Semangat pemuda kampung, berubah menjadi aroma bisnis kopi.
Jaringan bisnis mulai bergerak, dari tingkat lokal, nasional dan kini merambah ke jejaring internasional. Baju baru telah dikenakan di tanah Karo yang akan selalu ramah pada pendatang. Semagat kopi memberikan darah segar dalam perekonomian masyarakat setempat.
Sekedar contoh, green bean yang dijual bisa mencapai Rp 100 ribu. Dan bila sebuah desa bisa menghasilkan 1 ton green bean saja maka akan ada perputaran Rp 100 juta per bulan. Angka ini bias kecil bisa besar, tergantung bagaimana kita melihatnya. Tetapi setidak tidaknya semangat baru mulai tumbuh di kedai-kedai malam penduduk setempat. Topik pembicaraan mulai berubah dari harga jeruk menjadi harga kopi.
Petani pesimis kini mulai membuka teliga dan mencoba menghitung di atas kertas tentang untung rugi sebuah pohon kopi. Tidur panjang berubah menjadi lebih pendek karena ingin segera menanam kopi. Informasi tentang harga kopi, bibit kopi, aroma kopi mulai datang silih berganti di WA penduduk kampung.
Wajah-wajah ceria mulai terlihat elok saat pertemuan pesta kerja tahun di kampong kampung. Kopi menjadi topik utama selain pilkada. Dan tidak sedikit yang mulai meremehkan calon yang tidak memahami arti dan makna kopi dalam kehidupan masa sekarang. Karo secara pelan tetapi pasti berubah merebut pangsa pasar Kopi Dunia Internasional setelah mendapatkan predikat salah satu kopi terbaik dunia.
Kejayaan Cengkeh, Jeruk kini menjadi salah satu pemain penting yang akan segera diperhitungkan dalam bisnis Kopi Nasional. Koperasi-koperasi Kopi Petani sudah masuk dalam topik-topik bahasan di kedai kopi. Tanpa perkumpulan yang solid, harga kopi akan menjadi buah dadu, yang tidak pernah tahu berapa akan muncul.
Koperasi kopi dan asosiasi koperasi petani kopi akan menjadi ujung tombak pertama dan paling utama untuk mempertahankan agar senyum di wajah ibu-ibu kampung tetap seceria sebelumnya. Dan letusan Gunung Sinabung kini bisa dilihat dari kacamata berkah alam.
Sejurus aku teringat masa kecilku memanjat kopi di kebun nenek sesembari berburu tupai yang tidak pernah akan tertangkap. Kini aku memutuskan untuk menghidupkan masa kecilku itu dengan menjadi bagian dari mata rantai agroindustri kopi di bagian hulu, membuka pasar di Jawa Tengah hubungi , Advent Tambun di WA : 081385679240 . SALAM KOPI KARO. Mejuah juah ita kerina , Merih Manuk Niasuh, Mbuah Page Nisuan.(amry ks pelawi)