Perjuangan Petani Untuk Bertahan Hidup Dari Kekeringan

Editor: metrokampung.com
Manaor sedang menyiram tanaman pada musim kemarau. 

Tobasa-metrokampung.com
Saat musim kemarau tiba,  tahun 2017 yang berlangsung lebih panjang dari tahun 2016 lalu, para petani di daerah Tapanuli harus menerima resiko. Hasil panen gabah sebagai tradisi diluar tumbuhan plawija harus banting setir menjadi kuli bangunan.

Dari pantauan metrokampung.com selama empat hari sejak 15-18 Agustus 2017 di empat daerah, yakni Kabupaten Taput, Humbang, Samosir, dan Kabupaten Tobasa, daya tahan warga diuji untuk dapat meneruskan hidup dari ancaman kekeringan panjang.

Kekeringan panjang memotivasi warga di empat kabupaten tersebut untuk lebih kreatif menggali mata pencaharian untuk menghidupi dirinya, keluarga, dan orang-orang tercinta di sekitarnya.

Manaor Marpaung (56 tahun), warga Kampung Lumban Tongatonga, Desa Narumonda satu, Kecamatan Siantar Narumonda, Kabupaten Tobasa, Ia sudah empat bulan beralih profesi menjadi tukang kuli panggul air dan pemecah batu di sejumlah bangunan.

Sebelumnya, lelaki beranak empat ini adalah petani penggarap. Namun, karena Sungai Aekbolon yang mengairi lahan tanaman padi yang digarapnya kering kerontang, Manaor pun mengubah mata pencahariannya.

Ia pun harus menempuh jalur terjal untuk meraih air menyirami tanamannya dengan harapan bisa menyambung hidupnya kelak.

Manaor terpaksa menjalani dua profesi sekaligus untuk menyambung hidup. Saat menjadi petani, dia mampu membawa pulang uang sebesar Rp 25.000 per hari saat pengolahan lahan dan masa semi selama satu minggu di sawah garapannya seluas delapan rantai.

Sementara itu, saat musim perawatan, Manaor mengantongi Rp 25.000 per hari selama satu hingga dua bulan. Ketika masa panen tiba, sebanyak Rp 6 juta bersih masuk kantongnya.

Manaor yang tidak terlalu fasih berbahasa Indonesia ini mengambil air dari sumur kecil  yang sengaja dibuatnya di dasar Sungai Aekbolon saat kekeringan mulai melanda desanya pada Maret 2017.

Tak heran, dia sempat memalingkan muka dan bungkam. Manaor terus saja melakukan pekerjaannya mengambil air hingga memenuhi ember plastik bekas tempat cat ukuran 25 kilogram. Ketika hari beranjak senja, Manaor baru mau membuka suara.

Dia bercerita, kekeringan dan kemarau panjang telah membuatnya kehilangan kesempatan untuk menunaikan janji terhadap anak istrinya.

Awalnya, jika panen padi dan jagung berhasil, dia akan membayar sejumlah hutang, yang sebelumnya sudah ia terima untuk biayai uang sekolah anak-anak nya, dan kebutuhan keluarga lainnya.(edison_simon)

Share:
Komentar


Berita Terkini