"Tobasa Darurat Beras" Petani Tobasa Miskin?

Editor: metrokampung.com

Tobasa-Metrokampung.com
Darurat beras ditengarai berpindah tangannya produksi petani ke ijon disebabkan utang.

Sebagaimana arahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) belum lama ini. Disebutkan, bahwa petani perlu diperkenalkan dengan marketplace.

Artinya, petani diperkenalkan ke pasar bahkan ke pasar daring atau pasar barang dan jasa melalui disain internet serta perlu di intervensi dari hulu hingga hilir.

Memperhatikan data BPS, agustus 2018 atas dua indikator utama yakni, di hulu Nilai Tukar Petani (NPT) dan di hilir Harga Pembelian Pemerintah (HPP) menunjukkan nilai yang saling kontra serta menjadi problem akut, jika tidak segera dilakukan penanganan.

Menurut Ir Zevrin Alam Harahap, pada minggu 17/3"19 disela diskusi hasil pertanian gabah di Balige bahwa, harga gabah petani di penggilingan jauh lebih besar dari Harga Pembelian Pemerintah (HPP) gabah, jatuh pada angka 123, 37% artinya petani seharusnya relatif sejahtera.

Kemudian, muncul situasi yang kontra karena Nilai Tukar Petani (NTP) pada angka 93,52% yang berarti petani malah semakin miskin.

"Fenomenal ini terjadi,  karena secara ansich pihak Pemerintah Daerah tidak berkewajiban membeli gabah dari petani disebabkan harganya sangat kompetitif.


Menurutnya, merujuk data dari Dinas Teknis tahun 2018, bahwa ada sekira 150 ribuan ton produksi gabah Tobasa per tahun atau setara dengan 96 ribuan ton beras (dengan konversi GKB baru oleh BPS = 0.64%).

Artinya, kalau kita ambil dasar konsumsi 130 kg per kapita per orang serta asumsi jumlah penduduk Tobasa saat ini 210 ribu jiwa, maka konsumsi beras masyarakat Tobasa adalah sebesar 27.3 ribu ton per tahun atau surplus 68.700 ton.

Katakanlah petani 'pegang' beras 50% dari total kebutuhan seluruh masyarakat atau setara 13.7 ribu ton, maka masih ada surplus 55 ribu ton atau setara dengan stok 2 tahun beras.

Nah, kemana beras sebanyak itu? Kok tidak ada tersedia di outlet modern di Tobasa dan sekitarnya? Bahkan kalau pergi ke restoran dan warung juga terbatas.

Kenapa pula NTP semakin kecil atau petani menjadi miskin sementara harga gabah di penggilingan sangat kompetitif (hampir 124 % dari HPP)?

Ditegaskanya, bahwa kebanyakan para pemilik kilang sudah lebih dahulu berutang kepada para saudagar di luar Kabupaten Tobasa, dan sebaliknya para petani juga relatif sudah berhutang ke pemilik kilang padi atau  para pemburu rente.

Disamping faktor utang, faktor lain seperti ketidakmampuan petani untuk menyimpan beras dalam jumlah yang besar karena lumbung-lumbungnya tidak tersedia.

Menjadi menarik ketika kita fokus kepada petani. Kenapa mereka berutang baik kepada pemilik kilang atau pemburu rente?

Menurut pemerhati UMKM, Ir Parlin Napitupulu, hal ini dipengaruhi beberapa sinyalemen yang kuat yakni:

1. Biaya produksi lebih tinggi karena petani malas menggunakan pupuk organik bahkan menggunakan tirai plastik dan net untuk hama tikus dan juga burung.

2. Luas Lahan semakin berkurang akibat air irigasi semakin minim. Perlu teknologi bibit transgenik yg semi air tanpa irigasi, juga pemanfaatan kontur tanah utk membangun embung-embung irigasi.

3. Petani kurang telaten atau lengah untuk meraih penghasilan tambahan lain seperti, beternak, palawija dan berkebun.

4. Kebutuhan adat yg semakin tak terbendung seiring  perkembangan penduduk  semakin padat, seperti biaya sosial (tumpak), tandok dan suksesi (olop olop)

5. Biaya keseharian keluarga yg terikut kehidupan modern, seperti  paket pulsa, kredit motor, makan terbang weeken.

Fenomena ini bisa berpotensi hingga menjadi problem akut, jika tidak segera dilakukan tindakan yang terpadu dalam lintas sektoral serta dukungan dari masyarakat, praktisi dan akademisi di Tobasa.

Sangatlah mendesak peran aktif staf ahli bupati dlm bentuk forum sinergi bersama dengan lintas sektoral antara Perangkat Desa, Fasilisator Desa, BUMDES, Distan, Ketapang, PU,  disKopdak) sebagai garda terdepan dengan komunikasi pimpinan daerah untuk secara bersama-sama dan terpadu memecahkan kebuntuan dan kondisi laten ini sehingga nantinya tercipta keseimbangan baru yang membuat petani mulai merasakan penghasilan yang semakin baik.

Tentu saja, melimpahnya produksi, ketersediaan pada distribusi, juga di pasar dan gerai modern sebagai bentuk keberpihakan Pemerintah Daerah kepada petani dan pelaku usaha UMKM.

Akhirnya, orientasi pembangunan saat ini yang berfokus pada industri dan modal cenderung menafikan pembangunan pertanian pedesaan, sehingga indikator Nilai Tukar Petani (NTP)  tidak masuk ke dalam tujuan pembangunan. Pada hal, dampaknya sangat signifikan menentukan nasib petani karena pengaruh dan budaya lokal adalah sesuatu yang "wajib" dilakukan oleh petani bahkan masyarakat paparnya.(rel/mk)
Share:
Komentar


Berita Terkini