DPC PERADI Medan Menggelar Diskusi 'Kupas Tuntas RUU Hukum Acara Perdata'

Editor: metrokampung.com

DPC PERADI Medan (Rumah Bersama Advokat) menggelar diskusi dengan Thema "Kupas Tuntas RUU Hukum Acara Perdata".


Medan, Metrokampung.com

Ketua DPC PERADI Medan RBA Hendrick Napitupulu, SH. M.H mengatakan bahwa 
RUU Hukum Acara Perdata sudah cukup lama dibahas dan menjadi polemik yang panjang. Advokat sebagai profesi yang menjalankan praktek hukum sangat berkepentingan terhadap RUU Hukum Acara ini, belum diuraikannya peran dan fungsi Advokat dalam RUU Hukum Acara Perdata merupakan bentuk pelemahan terhadap profesi Advokat dan  harus disikapi segera.
 
"Kita harus memberikan masukan-masukan untuk setiap pasal dalam hukum acara untuk  memperkuat peran Advokat dalam persidangan perdata. Advokat adalah pengawal hukum yang harus bisa memastikan hukum dipaktekkan dengan benar di persidangan sehingga masyarakat pencari keadilan mendapatkan haknyak", kata Hendrik Napitulu dalam diskusi yang digelar Rumah Bersama Advokat, dengan Tema Kupas Tuntas Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Perdata, yang dilaksanakan, Senin (24/1/2022) di Emerald Garden Hotel Jalan Yos Sudarso Medan. 

Diskusi yang dihadiri para advokat dan dimoderatori oleh Siska Baringbing dengan 3 orang Narasumber, yaitu Jinner Sidauruk, SH. M.Hum yang merupakan Dekan Fakultas Hukum Nommensen, dan 2 orang Praktisi Hukum Kota Medan Marudut Simanjuntak, SH. MH dan Sahat M. Hutagalung SH. M.Hum. 

Dalam paparannya Jinner Sidauruk menyampaikan bahwa RUU Hukum Acara Perdata yang ada saat ini isinya masih didominasi dengan teori-teori hukum. 

Menurutnya Hukum Acara Perdata isinya harus tegas dan operasional, yaitu mengatur tentang tahapan-tahapan bagaimana teori hukum itu dijalankan dalam praktek di Pengadilan mulai dari pendaftaran gugatan sampai pada eksekusi putusan pengadilan.
Dihidupkannya kembali lembaga gijzeling (penyanderaan) dalam RUU Hukum Acara Perdata merupakan bentuk hukum teror yang  sudah kuno, ucap Sidauruk.

Dikesempatan itu, Marudut Simanjuntak mengulas cara pandang Penyusun RUU Hukum Acara Perdata yang masih sangat kolonial.  Masyarakat Indonesia masih dianggap belum melek hukum, masih diperbolehkannya gugatan dibuat secara lisan dan kemudian hakim memerintahkan panitera untuk mencatatkan. Hal ini jelas mengenyampingkan peran Posbakum dan UU No. 11 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum, tukasnya.
 
Dia mengatakan Hukum Perdata yang bersifat privat mulai bergeser ke ranah hukum publik. Peran hakim dalam RBG dan HIR bersifat pasif sedangkan dalam RUU Hukum Acara Perdata bersifat aktif bahkan hakim dapat memerintahkan memanggil saksi untuk memberikan keterangan di persidangan.

Dengan dihidupkannya kembali gijzeling (penyanderaan) untuk nilai kerugian di atas Rp.1 M memberikan kepastian terhadap eksekusi putusan, karena pelaksanaan putusan pengadilan menjadi hal yang sangat sulit dilakukan selama ini, banyak pihak yang memenangkan perkara namun putusannya tidak dapat dilaksanakan. 

Gijzeling harus diatur dengan lebih rinci agar tidak menimbulkan cela hukum bagi pihak-pihak yang mengambil keuntungan sepihak,  dan harus dipastikan tidak terjadi pelanggaran hak asasi manusia dalam prosesnya, katanya.

Namun Marudut Simanjuntak sangat  menyesalkan karena RUU Hukum Acara Perdata belum mengatur secara rinci peran dan fungsi Advokat dalam mewakili kepentingan pemberi kuasa, hal ini merupakan bentuk pengkebirian peran Advokat dalam praktek persidangan perdata. 

Dalam paparannya, Sahat M Hutagalung berpendapat dalam ketentuan-ketentuan hukum acara perdata dalam RUU Hukum Acara Perdata ini pengaturannya belum beranjak jauh atau tidak jauh berbeda dengan ketentuan hukum acara perdata sebagaimana diatur oleh HIR dan RBg. Sebagai contoh, sama seperti ketentuan dalam HIR dan RBg yang sudah diberlakukan sejak jaman penjajahan, RUU Hukum Acara Perdata  masih memungkinkan pengajuan gugatan secara lisan dan tidak ada keharusan mewakilkan kepada seorang kuasa. 

Memang dalam RUU Hukum Acara Perdata ada diatur tentang mewakilkan kepada seorang Advokat, namun hal tersebut tidak menjadi keharusan. Bahkan jika dibandingkan dengan ketentuan dalam Wetboek op de Burgerlijke Rechtvordering (RV), yaitu ketentuan hukum acara perdata yang berlaku pada masa yang sama dengan HIR dan RBg dan dianggap lebih maju dari pada HIR dan RBg, RV yang berlaku bagi golongan orang-orang Eropa pada masa penjajahan itu beracara secara tertulis dan wajib mewakilkan kepada Kuasa.

Sahat menambahkan dalam RUU Hukum Acara Perdata sudah ada pengaturan yang mengadopsi model-model gugatan dari negara-negara dengan tradisi hukum Anglo Saxon, yaitu adanya pengaturan tentang gugatan Perwakilan Kelompok (Class Action), gugatan Organisasi Lembaga Swadaya Masyarakat (NGO Legal Standing), namun belum memasukkan model gugatan Warga Negara (Citizen Law Suit), padahal dalam praktik peradilan selama ini model gugatan warga negara ini sudah banyak diajukan ke pengadilan. 

Hal lainnya yang disoroti oleh Sahat adalah tentang pengaturan penyitaan dalam RUU, yang disebut dengan satu penamaan, yaitu Sita Jaminan yang jika dibaca isinya ternyata mencakup pengertian Sita Jaminan (Conservatoir Beslag) dan Sita Hak Milik (Revindicatoir Beslag) seperti yang diatur dalam HIR dan RBg. Menyamakan penyebutan kedua jenis sita tersebut dalam RUU dengan satu nama, yaitu Sita Jaminan adalah kurang tepat karena pada hakekatnya pengertian dan tujuan kedua jenis sita tersebut adalah berbeda. 

RUU juga mengatur kewajiban hakim untuk mendamaikan para pihak yang berperkara, namun sepertinya belum mengatur secara rinci tentang proses perdamaian dengan mekanisme mediasi di Pengadilan. Padahal praktik pengadilan selama ini telah menerapkan proses perdamaian dengan mediasi di pengadilan dan untuk itu Mahkama Agung juga sudah menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung, ujarnya.

Ada juga ketentuan  tentang pihak berperkara dapat menjadi saksi yang memberikan keterangan di Persidangan atas perkaranya. Ini menimbulkan pertanyaaan, apa urgensinya menjadikan pihak berperkara sebagai saksi? Juga tentang diterapkannya lembaga penyanderaan dalam RUU. 

Sahat berpendapat memasukkan sanksi yang bersifat pidana (pembatasan kemerdekaan) sebagai bentuk pelaksanaan putusan dari suatu proses hukum perdata adalah tidak tepat. Bagaimana mungkin dari suatu persoalan keperdataan dan diproses dengan mekanisme acara perdata, tetapi dalam pelaksanaan putusannya dapat dikenakan sanksi yang bersifat pidana?

Dalam acara diskusi tersebut para peserta yang merupakan Advokat-Advokat anggota PERADI RBA (Rumah Bersama Advokat) juga memberikan beberapa tanggapan dan usulan antara lain, mengenai praktik persidangan secara e-court yang juga belum diatur dalam RUU ini. Jika melihat perkembangan masyarakat dan teknologi maka sangat urgent untuk mengatur secara rinci tentang  e-court  sehingga praktek hukum bisa beradaptasi dengan perkembangan zaman. 

Kurangnya pengaturan tentang peran Advokat dalam ketentuan RUU Hukum Acara Perdata dan dihidupkannya kembali lembaga penyanderaan (gijzeling)  yang dipandang melanggar hak asasi manusia dan Mahkamah Agung sendiri sudah lama menghapus lembaga penyanderaan ini dengan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 2/1964 dan No. 4/1975. (Ra/mk)
Share:
Komentar


Berita Terkini