Atejadi Gadia Pemetik Kopi Karo (3), Tangannya Terhenti Ketika Hendak Menggoreskan Stabilo

Editor: metrokampung.com

KARO-METROKAMPUNG.COM
Merah merona buah kopi kini berganti dengan taburan bintang di atas langit Desa Dokan. Liturgi petik kopi, giling kopi, jemur kopi sudah berakhir dengan datangnya bidadari malam. Atejadi tenggelam dalam buku barunya The History of Coffee pemberian Dr. Thelma Gomez saat konferensi kopi di Bali awal tahun ini. Buku putih bertuliskan huruf hitam telah berubah menjadi lembaran warna-warni karena dosa stabilo yang ditambhkan Atejadi pada setiap kalimat yang menjadi pesan kunci dalam setiap halaman. Sembari membalik satu demi satu lembaran buku setebal 321 halaman tersebut, sayup-sayup terdengar dari rumah tetangga suara radio Gundaling FM radio kesayangan masyarakat Karo, tembang kenangan sedang mengudara. Piso Surit, terdilo-dilo.....

Lagu tembang kenangan ini menghentikan tangan Atejadi yang hendak menggoreskan stabilonya pada halaman 217 The History of Coffee. Ia teringat sebuah artikel pendek yang dimuat koran lokal tentang almarhum Djaga Depari, komposer lagu tersebut. Dewa musik Karo itu ternyata tidak pernah melewati masa pendidikan formal musik, ia belajar secara otodidak dan mengikuti naluri seninya. Patungnya dengan posisi bermain biola menjadi salah satu ikon di kota Medan. Tetapi bukan itu yang benar-benar membuat Atejadi terkagum-kagum pada Djaga Depari. Lagu-lagu beliau tercipta sebagai bentuk dukungan kepada Jendral Djamin Ginting, pejuang dan pahlawan nasional Karo. Musik tidak semata-mata soal keindahan audio, tetapi alat dan sarana untuk membawa kita kepada nilai yang lebih besar. Djaga Depari memanfaatkan musik sebagai bagian dari perjuangan.

Tiba-tiba lagu Piso Surit digantikan oleh ring tone Ngarep Gestung Api Bas Lau. Nama Diandra The Beauty muncul pada layar Sambung Galaxi a3. Senyum kecil terlintas di bibir Atejadi mendapat sapan malam dari sahabatnya saat masih-sama berjaket kuning di Universitas Indonesia. Tangankanannya mengambil si smart phone, sementara tangan kirinya menutup The Tistory of Coffee.

“Hai, gadis pemetik kopi,” sapa Diadra dengan tawa kecil yang renyah.

“Hai, the beauty..... Lagi di cafe, mana Di?” tanya Atejadi yang kini sudah terbaring manjad di peraduan kasur empuk dibalut selimut tebal melawan dinginnya udara malam Taneh Karo.

“Bulan depan aku ke Medan lho. Ada pelatihan Rumah Kreatif BUMN. Aku diminta untuk memberikan seminar kecil tentang local values dalam produk UKM. “
“Wow...keren banget tuh.”puji Atejadi.
“Makanya aku telefon gadis pemetik kopi. Aku kan tidak tahu sama sekali local values di Sumatera Utara. Lagipula setelah aku tanya ternyata pesertanya datang dari berbagai suku. Ribet kan, bro!”

“Kalau aku sih melihatnya simpel, Di. Seandainya aku, tentu sudah aku tolak, be a honest person lah. Kalau kita tidak tahu, ya katakan tidak tahu. Simpel, kan?”

“Eureka....elu memang selalu cemerlang dan berpikir pramatis. Apa yang lu katakan itu adalah local values. Tampil apa adanya. Jujur. Sekarang giliran gue yang harus mampu mengemasnya sebagai sebuah  bahan seminar. Bujur melalaklak, Ate!”
“Bujur Melala. Please deh! Saya ulangi ya...melala”
“Bujur Melala, gadis si pemetik kopi! Sebetulnya aku mau tolak koq. Tahu diri dong. Akar budayaku kan Jawa dan Bali. Tapi kamu mau tahu kenapa aku terima tawaran itu.”
“Tahu. Kamu mau temui gadis pemetik kopi, kan.”
Tiba-tiba tawa kedua gadis belia itu terpingkal-pingkal, seperti saat mereka membicarakan kebodohan dosen mereka yang selalu sok pintar dengan segala teori buku tetapi ketika ditanya tentang praktek lapangan, hampir jawaban mereka selalu sama, belum ada waktu.
Kegirangan dua anak zaman itu berhenti saat suara ketukan pintu terasa semakin keras.
“Di, sorry..sorry, aku tinggal ya. Bapak datang tuh. Chao beatuy,”
“Ok..ok...see you next month ya, miss you gadis pemetik kopi.”
Telefon ditutup. Atejadi melonjat dari tempat tidurnya, melibaskan dengan gesit selimutnya dan dalam hitungan detik ia sudah berhadapan dengan ayahnya.

“Mamakndu i ja?” Pertayaan yang selalu disampaikan oleh Bapak setiap kali tiba di rumah. Pertama sekali orang yang ia cari adalah Mamak. Tetapi kalau yang membuka pintu adalah Mamaka, maka pertanyaan sebaliknya akan muncul, Ateja jadi di mana. Ayahku adalah pensiunan guru matematika SMP di Kabanjahe. Kami memanggilnya Bapak. Usia 67 tahun tidak membuatnya menjadi sosok yang tua.
 
Gengamannya masih terasa kuat. Wajahnya masih terlihat muda. Keranjang kopi 12 kilo dengan mudah diangkat dan dipindahkan dari satu tempat ke tempat yang lain. Sejatinya lelaki Karo, ladang adalah dunianya yang sesungguhnya. Sebelum pergi mengajar, ia pasti singgah lebih dahulu di ladang, mungkin sekedar melihat apakah ada daun baru pada tanaman sayurnya. Ketika pulang dari sekolah, ia singgah sebentar di rumah untuk ganti baju dinas, lalu menyusul Mama di ladang dan menlanjutkan makan siang di sapo.

“Lama kali Bapak pulang. Mamak sudah tidur.”jawabku pada pertanyaan Bapak. Aroma rokok terasa di seluruh badannya. Ia membuka sepatunya, meletakkan sarungnya di kursi. Aku tahu Bapak menghabiskan waktunya di kedai kopi setelah kembali dari Pesta Adat di Deli Tua. Mungkin ia sudah tiba di Dokan pukul tujuh, tetapi tempat pertama yang ia singgahi pasti kedai kopi dan menghabiskan waktu untuk membahas dunia dan langit bersama yang lain. Kedai kopi adalah wilayah netral dalam kehidupan masyarakat Karo. Kedai kopi adalah public space masyarakat Karo. Mereka bisa membahas apa saja, mulai dari bola, politik, agama, ekonomi bahkan politik luar negeri Donald Trump. Di setiap kedai, satu atau dua koran akan selalu berserakan dari satu meja ke meja yang lain. Dengan kehadiran smartphone sumber informasi mereka bertambah semarak. Tidak jarang mereka membahas satu account facebook sosok karo yang sedang menjadi tranding topic.

Aku hanya melihat punggung Bapak yang masih tegar saat melangkah cepat menuju kamar utama. Aku yakin mama sudah bangun tetapi malas turun dari tempat tidur, apalagi dia sudah dengar aku membukakan pintu. Aku tutup kembali dan aku kunci.

Desa Dokan menikmati gelapnya malam bertabur kilau bintang di langit. Dari rumah sebelah tembang kenangan masih terdengar sayup sayup. Erkata Bedil lagu yang akan mengantarkan tidur lelapku. Lagu ini bercerita tentang perang di Kota Medan dan mengajak semua lapisan masyarakat untuk turun berjuang melawan penjajah.(sumber : Advent Tambun/amry kesuma/bersambung)
Share:
Komentar


Berita Terkini