Geliat Aroma Kopi Karo (2) Jujuri, Wanita Karo yang Dilahirkan Sebagai Petani

Editor: metrokampung.com

KARO - METROKAMPUNG. COM
“Jadi...Jadi....enggo , nakku, enggo me. Udan ee....,” (Jadi,, sudahlah nak hujanpun sudah turun) teriak Jujuri, ibu Atejadi. Jujuri adalah sosok wanita Karo, pekerja keras dan hari-harinya bergelut dengan tanah dan tanaman. Tempat permainan yang paling indah bagi wanita Karo adalah ladang. Sejak mereka sudah bisa dibawa keluar, maka perkenalan pertama pada alam adalah ladang.

Bayi kecil Karo akan digendong pada bagian punggung, sementara si ibu akan memetik kopi atau mencangkul. Berjam-jam bayi kecil Karo berada dipungung ibunya sejak berangkat dari rumah hingga kembali nanti sore. Anak kecil dipungung, keranjang sayur di tangan kanan dan kayu bakar di atas kepala, adalah lukisan kegagahan wanita Karo yang dilahirkan sebagai petani.

Mereka harus bangun lebih pagi untuk mempersiapkan makanan. Lalu kembali dari ladang lebih cepat karena harus mempersiapkan makan malam. Tidak heran bila di rumah Karo pada umumnya, hanya ada sebuah cermin kecil di dekat pintu keluar. Tidak ada waktu untuk bersolek, dan untuk apa tampil rapi toh yang akan ditemui adalah dedaunan hijau.

Pukul 7 pagi, Jujuri beru Barus, seperti wanita lain di Tanah Karo sudah berangkat ke ladang dengan seperangkat alat tani dan bekal makan di siang hari. Praktis waktu mereka akan terkuras di atas tanah gembur bekas abu gunung berapi. Kedekatan dengan tanah dan alam, menjadikan ladang sebagai rumah pertama dan utama. Jika ladang memberikan hasil, maka asap dapur tidak terhambat untuk mengepul.

Tidak heran bila ladang masyarakat Karo lebih rapi dan tertata daripada rumah fisik. Rumah adalah bagian dari ladang, sehingga tidak heran bila peralatan pertanian, seperti cangkul, babat, sabit, pompa atau keranjang berserakan di teras bahkan di dalam rumah.

Dalam keluarga besar, Atejadi dipanggil Jadi. Padahal di sekolah dan bersama teman-temannya, ia lebih kerap disapa Ate.  Tidak ada aturan baku dalam budaya Karo soal nama. Bahkan ada budaya yang aneh dalam hal penamaan bayi yang baru saja lahir dalam keluarga Karo. Katanya, nama disematkan begitu saja sesuai apa yang pertama kali dilihat atau yang sedang terjadi saat itu. Sehingga tidak heran bila ada orang yang bernama KT, singkatan dari Kelapa Tumbang. Menurut cerita, nama itu diberikan kepada putra keluarga tersebut, karena pada saat ia lahir , kelapa di belakang rumah kakeknya tumbang.

Sudah tiga hari hujan menguyur Taneh Karo. Langit terasa sendu, awan hitam tak pernah lepas dari lukisan langit bumi Sinabung. Atejadi berlari menuju “Sapo”, gubuk kecil yang ada di tengah kebun kopi sembari membawa keranjang kopinya yang belum seberapa isinya.

“Paling tiga kilo, Mak. “kata Atejadi membuka pembicaraan begitu tiba di salam sapo.

“Nanti lagi, Nakku. Tunggu hujan ini reda. Mudah-mudahan kita bisa bawa 40 kilo seperti kemarin.”sahut Jujuri sembari melihat jauh ke langit hitam, seakan-akan berharap agar alam lebih bersahabat dengan mereka.

“Kita butuh lebih banyak lagi, Mak. Mudah-mudahan cukup untuk aku bawa sebagai sampel minggu depan.”lanjut Atejadi.

“O..ya...Mamak lupa kapan festival kopi yang di Jakarta itu?”

“Tangga 29 April, Mak. Pas satu minggu lagi.”jelas Atejadi yang sudah mempersiapkan beberapa buah kopi pilihannya untuk diikutsertakan dalam festival kopi Nusantara yang diselenggarakan oleh Kementrian Pertanian. Ini adalah pertama kali Atejadi ikut serta dalam acara terpenting Kopi Nusantara.

Para petani akan berusaha memperlihatkan kopi terbaik mereka dalam acara tersebut. Event ini selalu ditunggu para petani kopi. Ahli kopi baik dari dalam negeri maupun luar negeri akan menghadiri dan mencoba menemukan patner agrobisnis terbaik. Atejadi sangat terdorong karena tahun lalu pemenang kopi terbaik dalam festival yang diadakan di Bali adalah seorang ibu dari Sidikalang.

Dalam hati kecilnya, Atejadi ingin membuktikan bahwa kopi Karo adalah salah satu singel origine yang layak diperhitungkan.

“Apa kata Abangmu, Kris soal kopi kita ini.”tanya Jujuri pada putri keduanya itu. Kris adalah tokoh muda Karo yang keluar masuk kampung mencari kopi terbaik.

Dalam setiap pertemuan dengan petani Karo, ayah dua anak ini tidak henti-hentinya memberikan semangat dan arahan kepada petani Karo agar memperlakukan kopi seperti hewan peliharaan. Ia sadar bahwa kopi akan menjadi tulang punggung ekonomi masyarakat Karo setelah kehancuran jeruk. Berangkat dari ketidaktahuan Kriss telah tumbuh menjadi sosok referensi kopi Karo. Keputusannya tiga tahun lalu meninggalkan pekerjaan tetap di sebuah perusahan swasta perkebunan sawit itu, kini telah membuahkan hasil nikmatnya aroma kopi Karo.

“Bagus, bagus. Katanya sudah bagus, Mak. Hanya perlu dijaga supaya buah cherrynya tetap seperti ini semua,” lanjut Atejedi sembari membuang beberapa biji kopi yang masih hijau dari dalam keranjang. Kumpulan biji-biji kopi yang merah menyala dan bersinar karena dilapisi air hujan kontras dengan langit tetap tak bisa ditempus sinar maahari.

“Mudah-mudahan besok kita bisa panen lebih banyak. Besok bapakmu kan bisa ke ladang. Hasil panen pasti lebih banyak,” lagi-lagi Jujuri memberikan semangat kepada Atejadi. Kongsi, ayah Jujuri hari ini tidak bisa ikut ke ladang karena harus menghadiri pesta pernikahan seorang saudara di Delitua.

Pukul 5 Kongsi Tarigan  bersama beberapa penduduk kampung Dokan sudah berangkat. Mereka menyewa mobil kecil agar bisa langsung menuju lokasi pesta. Sebagai anak beru Kongsi harus tiba lebih awal untuk membantu persiapan pesta.

Dalam budaya Karo, anak beru adalah golongan yang mempersiapkan pesta pernikahan. Mereka harus bertangungjawab terhadap terlaksananya pesta dengan baik. Memasak nasi, menyiapkan sayuran, merapikan tempat pesta dan melayani para tamu. Anak beru berasal dari kata diberu yang artinya wanita. Dalam struktur adat masyarakat Karo keluarga wanita adalah pihak yang menjadi pelayan dalam pesta adat. Peran adat ini sudah terbentuk dengan sendiri, sebuah aturan adat kehidupan. Tahu adat, adalah bagian penting dalam masyarakat Karo.

“Jadi....sudah berhenti hujannya, Nakku. Ayo kita petik lagi.......    (sumber : Advent Tambun/amry kesuma/bersambung)
Share:
Komentar


Berita Terkini