Menko Luhut Batasi Waktu 8 Bupati, Terbitkan Perda Masyarakat Adat Kawasan Danau Toba

Editor: metrokampung.com
Kawasan Danau Toba dari Panatapan Tele, Harianboho Samosir.

LAGUBOTI -METROKAMPUNG.COM
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan mengimbau para bupati bersama DPRD delapan daerah di kawasan Danau Toba segera menerbitkan peraturan daerah tentang masyarakat adat.

Bahkan, empat kabupaten diberi tenggat waktu merampungkan perda pada akhir tahun 2018, dan empat kabupaten lainnya memulai sejak Agustus mendatang.

"Peraturan daerah perlu agar bisa menjamin hak-hak tanah ulayat. Kalau masyarakat Bali, mustinya di kawasan Danau Toba juga bisa mendukung parisata menjadi tingkat internasional," ujar Luhut saat menghadiri seminar dan workshop di Gedung Serbaguna SMA Unggul Del, Laguboti, Tobasa, Sabtu (28/7).

"Bupati se-KDT (kawasan Danau Toba) untuk segera menyampaikan surat keputusan atau Perda (masyarakat adat) itu kepada Kantor BPN untuk memproses sertifikasi tanah hak milik masyarakat adat pada akhir 2018, yakni Kabupaten Tobasa, Humbang Hasundutan, Tapanuli Utara dan Kabupaten Samosir. Sedangkan empat lainnya, harus memulai proses penyusunan perda tahun mulai Agustus 2018, yaitu Kabupaten Simalungun, Karo, Dairi dan Pakpak Bharat.

Acara seminar dan workshop bertajuk "Pemanfaatan Tanah Ulayat Untuk Peningkatan Kesejahteraan Penduduk Setempat dan Pengentasan Kaum Miskin di Kawasan Danau Toba" berlangsung dua hari. Acara diselenggarakan paguyuban alumni ITB menamakan diri Gaja Toba bekerja sama dengan Komisi Pelaksana Pelayanan Strategis (KPPS) HKBP.

Selama dua hari acara, ratusan orang tampak memadati gedung lokasi acara. Menurut Ketua Umum BPH Gaja Toba Ramles Manampang Silalahi mengatakan, peserta yang hadir berjumlah sekitar 500 orang. Mereka berasal dari berbagai puak dan kabupaten di kawasan Danau Toba.

"Kita perlu Perda untuk menjamin tanah ulayat, agar tanah menjami milik komunal, tidak dijual kepada pihak asing. Kita tidak orang Batak, Karo atau Simalungun terusir dari kampungnya," ujar Luhut.

Luhut juga memerintahkan Pemerintah Provinsi untuk mengevaluasi rancangan Perda. Sekaligus meminta masyarakat melengkapi seluruh persyaratan untuk proses penetapan objek tanah yang akan disertifikasi sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

Lembaga Adat
Pada kesempatan seminar, Luhut dan beberapa pejabat eselon I kementeriaun Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, Kementerian Kehutanan dan Kementerian Pertanian menerima keluh-kesah warga.

Pada sesi tanya jawab, terdapat 12 penanya. Berbagai perwakilan masyarakat adat juga turut menyampaikan aspirasinya terkait lahan mereka yang dijadikan status kawasan hutan di seputar Danau Toba sepreti di Kabupaten Simalungun, Kabupaten Tobasa, dan Kabupaten Samosir.

Disampaikan, tempat tinggal dan hunian yang telah diwariskan nenek moyang mereka jauh sebelum Indonesia ada kini tidak dapat mereka diami dengan baik, tiba-tiba belakangan masuk kawasan hutan lindung.

"Kenapa serta-merta kehutanan sesukanya menjadikan tanah kami jadi kawasan hutam. Apakah kami ini adalah orang utan yang bayar pajak?" ujar Bonar Siahaan, Warga Siboruon Tobasa.

Hal serupa disampaikan Nelson Siahaan, warga Desa Aek Raja Huta Gurgur Balige. Katanya tahun 1954 nenek moyang mereka memberi lahan ke kehutanan dengan tujuan lahan percontohan pertanian. Tahun 2012 mereka kembali meminta tanah seluas 55 hektar itu.

Namun, upaya tidak berhasil. Padahal, hasil rapat dangar pendapat di DPRD Sumut telah merekomendasikan tanah itu dikembalikan. Alasannya, sertifikat yang didirikan BPN atas kepemilikan oleh Lahan pertanian adalah cacat hukum.

"Saya sudah berulang ulang ke pemerintah, tapi tak didengar. Pada 29 november 2017, kami melalui pemerintah setempat telah membuat sanggahan teyap tidak didengar," ujar Nelson.

Hal senada disampaikan anggota Lembaga Adat Keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita, dari Nagori/Desa Sihaporas, Pematang Sidamanik, Kabupaten Simalungun. Ia mengaku sudah mendiami kampungnya secara turun-temurun delapan generasi. Tanah Sihaporas bahkan telah diakui penjajah Belanda, terbukti masuk dalam peta Enclave tahun 1916. "Mengapa pemerintah Indonesia justru tidak mengakuinya, dan menyebut hutan negara?" kata Ambarita.

Lebih jauh, diharapkan, terbitnya Perda Masyarakat Adat, maka akan terjamin tanah ulayat di kawasan Danau Toba. Syarat tanah ulayat antara lain, milik kelompok atau komunal, yang tidak dapat diperjualbelikan kepada pihak luar. Walau tidak dapat diperjualbelikan, msyarakat dan lembaga adat dapat memperoleh manfaat ekonomi, misalnya menyewakan tanahnya kepada pihak ketiga.

"Tanah ulayat memang untuk kawasan masyarakat di Kawasan Danau Toba, teyapi kita juga harus memperhatikan kepentingan nasional. Tetapi tanah jangan dijual. Bisa bekerja sama dengan investor," sebut Luhut.

Hal ini untuk mendukung destinasi pariwisata Danau Toba, satu dari 10 destinasi di Indonesia. "Sebentar lagi ada ada enam hotel bintang lima berdiri di kawasan Danau Toba. Kan kita tidak mau, tanah kita itu dijuali. Kita mau seperti Bali, masyarakat maju, tapi tanahnya tidak hilang," kata Luhut.

Purnawirawan jenderal TNI Angkata Darat itu memerintahkan Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) melakukan proses IP4T (Identifikasi Pemilikan, Penguasaan, Pemanfaatan, dan Penggunaan Tanah hingga terbitnya sertifikat hak milik.

"Kemudian Kepala BPN wajib memfasilitasi pemberian sertifikat hak guna bangunan atau hak pengelolaan di atas hak milik masyarakat adat, sebagai wujud kerjasama/kesepakatan antara masyarakat adat dengan pihak ketiga," kata Luhut.

Dirjen Pengendalian Pemanfaatan Ruang dan Penguasaan Tanah Kementerian Agraria dan Tanah Ruang Dr Ir Budi Situmorang sengaja mengundang masyarakat adat dati Bali agar warga Danau Toba dapat bersam-sama belajar untuk memajukan pariwisata. "Mengapa di Bali bisa, di Toba tidak bisa. Mestinya bisa, kan tujuannya sama-sama memajukan pariwisata dunia," tuturnya.

Budi menyebut dalam konsep tanah ulayat adalah yang diurus dan diatur hukum adat. Disebutnya, saat ini belum banyak tanah ulayat. Ke depan tanah ulayat akan diperbanyak dan dikelola sekelompok warga yang masih menjalankan hukum adat.

Pengalaman masyarakat adat di Bali, kata dia dapat memajukan pariwisata hingga skala dunia. Kemajuan pariwisata di Bali telah memajukan kesejahteraan, karena dapat mengusahai lahannya."Di sini, banyak yang senang kalau sudah datang orang membawa uang sekoper,"sindirnya lagi.

Budi menyebut, bersama Gaja Toba mereka mengharapkan agar masyarakat Toba tidak seperti menjadi orang Betawai yang tergusur dari pusat Jakarta. Dia mengingatkan, untuk memajukan pariwisata jangan sampai menjual tanah.(Ed/red)
Share:
Komentar


Berita Terkini