Sepekan Usai Vonis Meiliana, Hakim Wahyu Prasetyo Wibowo Diciduk KPK

Editor: metrokampung.com
Hakim PN Medan Wahyu Prasetyo Wibowo-Meiliana 
Medan-metrokampung.com
Tepat seminggu setelah menjatuhkan vonis bersalah kepada terdakwa penistaan agama Meiliana, hakim Pengadilan Negeri Medan, Wahyu Prasetyo Wibowo, ditangkap petugas KPK.

Wahyu menjadi satu dari empat hakim Pengadilan Negeri Medan yang diamankan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Selasa (28/8/2018) pagi.

Wahyu yang juga merupakan Wakil Ketua Pengadilan Negeri Medan Medan menjatuhkan vonis 1 tahun 6 bulan  kepada Meiliana.

Berbagai pertimbangan hakim, mulai dari keterangan saksi-saksi yang dihadirkan, dakwaan JPU, Keterangan Terdakwa dan Penasihat Hukum hakim kemudian putuskan Meiliana dengan hukuman penjara selama 18 bulan.

"Majelis Hakim Pengadilan Negeri Medan dengan ini menyatakan perbuatan terdakwa atas nama Meiliana terbukti melakukan unsur unsur penistaan agama sehingga hakim memutuskan Meiliana dengan hukuman penjara selama 1,5 Tahun dan denda sebesar lima ribu rupiah," ujar Hakim Wahyu Prasetyo Wibowo.

Sejak awal, kasus penistaan agama yang dilakukan Meiliana menjadi sorotan sejak terjadi di Tanjungbalai pada 29 Juli 2016 silam.

Meiliana kala itu meminta Kak Uo untuk menyampaikan kepada BKM Masjid Al Maksum Tanjungbalai agar mengecilkan volume azan.

Saat itu Meiliana merasa terganggu akibat pengeras suara azan yang berjarak 7 meter dari rumahnya tyang setiap hari dinyalakan.

Namun dalam Rabu (8/8/2018), Meiliana membantah dirinya melakukan sebagaimana dimaksud dalam rangkaian sidang.

"Saya merasa tidak bersalah pak hakim," jawab Meiliana menanggapi pertanyaan Majelis Hakim yang diketuai Wahyu Prasetyo Wibowo.

"Gara-gara kasus ini keluarga dan anak-anak saya menjadi trauma pak hakim," ujarnya.

Meiliana menjelaskan kepada perangkat persidangan bahwa dirinya tidak pernah meminta supaya volume azan di masjid dikecilkan. Ia hanya menyatakan bahwa suara azan terdengar lebih deras dari biasanya.

"Tidak ada saya menyebutkan bilangkan sama pak Makmur kecilkan suara toa di Masjid, karena telinga saya bising," ujarnya.

"Saya hanya bilang kepada kak Uwo bahwa suara azan sekarang di masjid deras, tidak seperti biasanya," terang Meiliana saat menjawab pertanyaan Jaksa Penuntut Umum yang diketuai Anggia Kesuma dari Kejari Asahan.

Kepada Majelis Hakim, Meiliana menerangkan dirinya mengaku mengetahui nilai-nilai toleransi di Indonesia.

Ia juga menyebutkan kedekatannya dengan asisten rumah tangga yang beragama islam.

"Pembantu saya muslim. Kerja sama saya sampai saya pindah ke Medan ini. Pas kejadian itu bahkan dia yang membantu memberesi kaca-kaca yang pecah dan berserakan," ujar Meiliana dengan sesekali mengusap air matanya di ruang Cakra Utama.

Sementara dalam dakwaan JPU sebelumnya, disebutkan pada tanggal 22 Juli 2016 bahwa Meiliana meminta volume suara azan Isya di Masjid Al Mahsun Tanjungbalai untuk dikecilkan. Meiliana disebutkan merasa terganggu dan telinganya sakit mendengar suara azan.

Meiliana didakwa melanggar pasal 156 dan Pasal 156a huruf a KUHAPidana tentang menyatakan perasaan permusuhan, kebencian, penghinaan terhadap suatu atau beberapa d golongan rakyat Indonesia.

Vonis Meiliana menjadi perhatian nasional dan internasional hingga menjadi keprihatinan PGI.

Bahkan, seorang Netizen sempat meminta Prof Mahfud MD, untuk membahas kasus ini bersama dengan Presiden Jokowi.

“Prof @mohmahfudmd mohon bisikin Pak @jokowi supaya lakukan intervensi hukum terhadap vonis Ibu Meliana seperti Bapak bisikin Beliau soal santri madura yang malah dijadikan tersangka saat membela diri dari tindak pembegalan,” cuit pemilik Akun Twitter @karuniyaw.

Mahfud MD kemudian memberikan penjelsan terkait permintaan tersebut.

“Vonis utk Ibu Meliana skrng sdh masuk ranah pengadilan (yudikatif), tak bs diintervensi oleh Presiden (eksekutif),” tulisnya.

Selain hakim Wahyu Prasetyo Wibowo, tiga hakim lainnya yang diamankan yakni, Marsudin Nainggolan selaku Ketua Pengadilan Negeri Medan, Sontan Marauke selaku Hakim di PN Medan dan Merry Purba selaku Hakim di Pengadilan Negeri Medan.

Kemudian, Dua Panitera PN Medan yang diamankan, masing-masing bernama Oloan Sirait dan Elfandi.

"Mereka (KPK) membawa Ketua PN Medan, Wakil Ketua PN Medan, Sontan, Merry sebagai Hakim dan dua Panitra Oloan dan Elpandi," kata Humas PN Medan, Erintuah Damanik, Selasa (28/8/2018).

OTT dilakukan KPK, tepat berada di Gedung B PN Medan. Erintuah Damanik mengungkapkan OTT terjadi sekitar Pukul 08.30 WIB. Namun, ia tidak tahu berapa jumlah petugas lembaga anti rasuah itu.

Sebelumnya, Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan bahwa ada uang dalam bentuk Dollar Singapura juga telah diamankan.

Sejauh ini, baru ini informasi yang dapat kami sampaikan. Tim sedang bekerja untuk melakukan verifikasi sejumlah informasi dari masyarakat yang kami terima.

"Nanti jika ada perkembangan akan di-update kembali termasuk berapa orang yang akan dibawa ke kantor KPK di Jakarta," ujar Febri.

Ajukan Banding, Pengacara Ungkap Kejanggalan Sidang Kasus Meiliana
Kuasa hukum Meiliana akan mengungkit soal barang bukti yang tidak relevan pada permohonan banding yang segera dilayangkan ke Pengadilan Tinggi Medan.

Pengacara Meiliana, Ranto Sibarani, mengatakan, pihaknya meminta kepada majelis hakim yang nantinya menangani banding putusan kasus Meiliana untuk menyoroti beberapa kejanggalan dalam kasus ini.

"Yang pertama, sidang banding harus memperhatikan bahwa awal kejadian kasus ini sudah sangat lama, sejak tahun 2016. Mengapa aparat hukum berat sekali menangani kasus ini sampai perlu waktu dua tahun? Karena ini sulit dibuktikan," katanya di sela acara Uji Kompetensi Jurnalis AJI di Kampus Universitas Medan Area, Sabtu (25/8/2018).

Pertimbangan lainnya yang akan dimasukkan ke dalam memori banding, kata Sibarani, adalah tentang tidak relevannya toa dan amplifier milik masjid depan rumah Meiliana dipakai jaksa sebagai barang bukti dalam sebuah sidang kasus penodaan agama.

"Tidak ada relevansi barang bukti dengan dakwaan jaksa. Barang bukti itu tidak menunjukkan apapun," tambahnya.

Sibarani mengatakan, pihaknya segera mengajukan memori banding sebelum batas waktu tujuh hari setelah putusan hakim Pengadilan Negeri Medan atas perkara ini, Selasa (21/8/2018) lalu.

"Sebenarnya kami menunggu salinan putusan dari Pengadilan Negeri Medan. Sampai hari ini ternyata belum ditandatangani oleh hakim," katanya.

Hakim Diminta Tak Terpengaruh Tekanan Publik
Kasus Meiliana yang dijerat hukum karena mengeluhkan volume suara masjid dekat rumahnya di Tanjungbalai mendapat perhatian luas, bahkan di tingkat internasional.

Petisi bertajuk “Bebaskan Meiliana, tegakkan toleransi!” di situs change.org telah ditandatangani oleh sekitar 140 ribu orang.

Presiden Joko Widodo pun sampai ikut angkat suara karena ada aspirasi yang memintanya untuk mengintervensi kasus ini.

Ranto Sibarani mengatakan, opini publik baik yang pro dan kontra pada Meiliana tidak dapat dihindari. Namun, ia berharap majelis hakim yang menyidangkan kasus ini tidak terpengaruh.

Ia justru meminta agar majelis hakim dijaga tidak mendapat tekanan dari pihak-pihak yang mengintervensi putusan kasus.

“Tempo hari kan hakim di Pengadilan Negeri Medan ditunggui sekumpulan massa sebelum pembacaan putusan. Hakim harusnya membuat keputusan dengan mempertimbangkan fakta-fakta. Bukan karena diintervensi tekanan massa,” ujarnya.(tribun/red)
Share:
Komentar


Berita Terkini