Spritualis Abah Rahman dan Sisi Lain Gemerlap Kehidupan

Editor: metrokampung.com


Medan, metrokampung.com
Abah Rahman berpedoman akan pengertian tentang hidup dan nasib.

Hidup dan nasib, bisa tampak berantakan, misterius, dan luar biasa menakjubkan. 

Namun setiap elemennya adalah subsistem keteraturan dari sebuah desain hidup yang sempurna. Menerima kehidupan berarti menerima kenyataan bahwa tidak ada hal sekecil apa pun terjadi karena kebetulan. Ini fakta penciptaan yang tidak terbantahkan.
Adalah Melisa. Seorang perempuan yang berprofesi sebagai sales marketing. Hidup mengantarnya menjadi perempuan simpanan. Di mana keinginan yang bukan keinginan tetapi saling bersinergi.
Apakah perempuan simpanan itu dibenarkan?

Tetap saja stigma negatif seperti brengsek, bedebah, dan tidak punya otak, sudah melekat erat. Keseluruhan dampaknya sama saja. Antipati.

Hidup di belantara kota Medan, yang namanya perempuan simpanan bukanlah kejahatan. Bukan tindakan amoral. Bukan kelakuan barbar.

Jika saat lahir dan membuka mata berada di tengah keluarga yang jauh dari kata cukup, baik itu soal pangan, sandang, dan papan, -poin ini dijadikan sebagai alasan pembenaran.-

Perempuan simpanan, yang katanya hidup dari menjual jasa diri, adalah sebentuk pengembangan dari tindak tanduk primitif yang mengeksplorasi mengikuti zaman.
Ah! Siapa sih di dunia ini yang tidak mau hidup sejahtera?

Bukannya menjadi kaya adalah impian tiap orang tapi (lucunya) hampir semua orang enggan mengatakannya dengan lantang. 
Toh apa salahnya dengan ingin kaya?
Tidak ada yang salah. Tapi dengan menjadi perempuan simpanan, itu cara yang salah.
Oh ayolah, jangan ketus.

Kita hidup di Medan, kota yang bergerak dalam relung kehidupan di pusat hedonisme. Di tempat manusia berlabel kota dengan segala ke-glamouran-nya berkumpul.

Jadi manusia kota kan harus bergaya. Mau bergaya ya harus kaya lah.

Nah, biar kaya bagaimana?
Ya berupaya. Kalau gak ada jalan? Ya sudah. Silakan. Menjadi perempuan simpanan.
Syukur jika dijadikan istri oleh pejabat atau lelaki jetset yang menjadikan simpanan. Tentunya istri di bawah tangan, begitu istilahnya. Toh mana ada pria mapan, mewah dan sempurna hari begini yang masih single?

Suara-suara sumbang menyatakan perempuan simpanan seperti perempuan murahan, pasti terdengar biasa. Semua jalan dihalalkan. Begitulah. Suka atau tidak suka, menjadi perempuan simpanan adalah perbuatan yang sah di tengah gemerlap kota, tempat orang-orang yang terbiasa gemar menatap dari ujung kepala hingga ujung kaki, untuk memastikan "kelas" seseorang.

Dan semua itu jelas harus diadakan dengan uang. Di kota besar memang memasang harga untuk semuanya. Mulai dari air putih sampai lipstik. Tidak ada yang gratis di Medan ini kecuali bernapas.

Melisa namanya.
Perempuan yang terlahir sempurna secara fisik. Mulai bentuk wajah yang mirip artis sinetron, hingga bodi serupa instruktur senam aerobik.

Namun tidak dengan nasib hidupnya. Jauh dari kata sempurna.

Setelah berhasil menamatkan sekolah menengah atas dengan susah payah dan terpatah-patah, mimpi Melisa ingin melanjutkan kuliah harus tersingkirkan secara kejam. Selama sekolah ia harus ikut menyongsong rezeki membantu orangtua sebagai pengepul kecil barang bekas di rumah.

Beruntung Melisa dianugerahi otak yang cerdas. Biaya SPP bisa ditukar dengan beasiswa. Tapi tidak dengan biaya-biaya lain yang harus diturutkan dengan memutar otak untuk meraihnya.

Jadilah, kini Melisa bekerja. 
Bekerja yang tampaknya saja keren dan bergaya. Tetap saja ia mesti berjibaku menjadi sales marketing dengan mengulurkan flyer-flyer kepada orang-orang yang akhirnya tertarik atau memang butuh untuk membeli produk kesehatan.

Di zaman serba digital dengan mengerjakan pekerjaan manual, sebenarnya bukanlah janji masa depan yang mencerahkan. Tetapi ia merasa tetap harus bergerak daripada hanya di rumah dengan mengerjakan rutinitas dan bergelung dengan barang-barang plastik bekas dan kotor.

Rolling kerja yang ditetapkan dari mal ke mal, dan menjumpai banyak orang, lebih menghibur bagi Melisa. Targetnya adalah orang-orang dengan gaya memancarkan kemewahan dan berduit, bukan gaya imitasi. Sudah jelas menjadi target empuk untuk bersedia merelakan uangnya membeli produk yang ditawarkan Melisa.

Ketika tiba jadwal membagikan flyer di Sun Plaza.

Mal highclass yang pada masanya adalah salah satu mal kelas tinggi di Medan. Pusat belanja. Poros manusia gaya. Kiblat orang kota.

Tempat yang terlalu banyak godaan. Para perempuan berseliweran dengan gaya keren, ibu-ibu muda kaya yang luar biasa bergaya.

Melisa menikmati semua itu sembari meneguk ludah. Ia membatin, 'kapan mampu bertransformasi menjadi seperti mereka?

Selintas lewat empat lelaki bergaya metropolitan ala eksekutif muda, dengan setelan atasan rapi, celana licin, dan sepatu kulit mahal berkilat.

Seringnya menemui orang-orang dalam beragam model gaya, menjadikan Melisa ahli dalam menilai orang dari penampilan dan isi kantong.

Ada yang style-nya menipu, bagus secara penampilan, tetapi aslinya kosong.
Ada yang benar-benar dengan gaya keren dan memang sesungguhnya super kaya.
Gampang saja.

Harus mampu melihat, mulai dari merk yang melekat di tubuh, hingga gadget yang menjadi bawaan. Lihat juga gesture tubuh mereka. Yang asli duitnya gak ber-seri, pasti cuek dan tidak jelalatan ke etalase toko-toko kiri kanan yang dilewati.

Kemudian percakapan.
Mereka biasanya asik membicarakan secara santai hasil kerjasama dengan partner bisnis atau membahas saham. Bukan obrolan monoton seperti mencari tempat kos baru karena yang lama kebanjiran.

Terakhir. Tempat makan.
Pasti mereka melangkah tanpa ragu masuk ke dalam cafe kelas tinggi, yang terkenal mahal bahkan hanya untuk seteguk-dua teguk kopi dan sepotong roti croissant yang amboi selangit harganya. Kelas mereka bukan di food court yang ramai orang-orang dengan aroma parfum murahan.

Melisa melihat peluang.
Target oriented yang sangat tepat sasaran. Dia mendekati dengan berjalan mantap, langkah tegak, dada membusung, dengan menyetel muka tegas tapi ramah.

Lantas mengalirlah ilmu marketing yang terbiasa telah dikuasai dengan lancar lengkap dan gimmick menggoda namun elegan. Melisa tidak mau bergaya khas sales yang terburu-buru dengan setelan norak dan cara berbicara berputar-putar. Melisa menjaga daya tarik dengan memanfaatkan bekal yang ada dalam tubuh dan otaknya. Untuk kedua hal tersebut, Tuhan memang sangat berbaik hati untuk menciptakan manusia seperti dirinya.

Berhasil? Tidak.
Lebih tepatnya belum.

Namun ada satu yang meminta untuk bertukar nomor kontak dengan janji akan menghubungi. Damar namanya.
Namun telah lewat dua minggu belum juga Damar menghubungi. Melisa merasa lelah tapi tidak ingin menyerah. Sementara jadwal rolling di mal Sun Plaza dilakukan setiap sebulan sekali.

Melisa kadung menyimpan harapan. Bukan hanya pada janji produk yang ditawarkan. Melisa melihat nasib yang terang ada pada Damar.

Ketika bercerita kepada sahabat semasa sekolah yang masih menjaga komunikasi.
Melisa bilang butuh keajaiban. Kawannya menawarkan bantuan. Bahwa ada seorang paranormal atau spritualis jempolan yang menjadi langganan saudara dari keluarga besarnya. Saudaranya itu berprofesi sebagai pebisnis.

Melisa langsung setuju.

Dan mereka menentukan janji temu untuk pergi bersama.

Pada tanggal janjian, Melisa dibawa kawannya menuju kediaman Abah Rahman, sang spritualis tersebut. Tempat tinggal Abah Rahman asri dan sangat menenangkan, jauh dari kata seram atau menakutkan. Singkat cerita, Melisa bercerita tentang jalan hidupnya kepada Abah Rahman. 

Setelah memberikan mahar sesuai persoalannya, Abah Rahman meritualkan melalui foto Damar yang ada dari foto profil.
Pada pembagian tugas berikutnya di mal Sun Plaza persis seperti Abah Rahman katakan, bahwa Melisa akan berjumpa lagi dengan Damar. Melisa mematuhi setiap ucapan Abah Rahman. Dan terjadilah. Pertemuan itu hadir kembali.

Kali ini Damar yang menghampiri setelah mereka bertatap muka, dengan serentetan kata sapaan dan maaf karena belum sempat menghubungi guna perbincangan lebih lanjut mengenai produk.

Damar mengajak bertemu malam harinya.
Ternyata Damar seorang pengusaha batubara. Perusahaan yang dikelola adalah warisan keluarga dan menjadi milik Damar karena telah dibagi sesuai jatah urutan kelahiran.

Damar tinggal di Jakarta. Medan adalah salah satu kota untuk jadwal rutin kunjungan pada anak perusahaan di kabupaten Sumatera Utara.

Nah. Siapa sangka dapat berjumpa lagi?
Kuasa Tuhan melalui perpanjangan tangan ke spritualis Abah Rahman. Damar berusia 45 tahun dan telah menikah. Pernikahannya telah berjalan 10 tahun namun belum diberi amanah anak oleh Tuhan.

Perjumpaan yang awalnya hanya soal penawaran produk kesehatan, telah membuahkan hasil kedekatan yang intim.
Melisa selalu riang saat Damar berada di Medan. Karena artinya saat itu Damar sepenuhnya menjadi miliknya. Tapi Melisa selalu tidak suka dan menjadi gelisah jika Damar kembali ke Jakarta.

Melisa selalu ingat untuk mendatangi Abah Rahman. Agar keterikatannya menjadi perempuan simpanan Damar tidak terkuak, dan hubungannya tidak menjadi hambar.
Damar loyal menghadiahi Melisa dengan barang-barang mewah dan bermerk. Damar juga memberikan satu kartu platinum dengan nominal gila, karena di luar kewarasan Melisa. Melisa telah mampu menjadi perempuan penuh gaya seperti yang diidamkannya.

Keluarga Melisa tentu saja kebagian kemewahan. Tempat tinggal Melisa juga telah pindah di satu apartemen mewah di Medan. Begitu juga dengan orangtua, yang menempati hunian mewah di salah satu perumahan kelas borjuis kota Medan.
Apalagi telah ada anak yang mengikat hubungan mereka. Damar semakin gila-gilaan menghidupi Melisa dengan kemewahan. Mereka juga telah menikah siri.
Saweran sajen untuk Abah Rahman diberikan Melisa untuk menjaga kelanggengan dengan Damar. Melisa tidak mau lupa, bahwa kewajiban dia mengisi ritual kepada Abah Rahman adalah hal utama untuk kepastian hubungan dengan Damar.

Melisa tidak mau terjadi hal yang tidak diinginkan jika dia terlupa kunjungan rutin kepada Abah Rahman.

Abah Rahman adalah guru spiritualnya dan jembatan Melisa untuk kini hidup nyaman dan berkelas.

Melisa tidak akan menukar kebahagiaannya dengan keteledoran dan seperti kacang lupa akan kulit kepada Abah Rahman.

Tidak. Melisa sudah cukup merasakan hidup susah dan dipandang sebelah mata oleh orang-orang.

Setelah hampir tiga tahun, Damar menyatakan akan menikahi Melisa resmi secara hukum. Menjadi istri kedua. Bukan lagi perempuan simpanan yang dinikahi siri.
Melisa tentu saja kaget sekaligus senang luar biasa. Akhirnya kemudahan hidup telah berdampingan dengan dirinya. 

Kesabarannya berbuah manis.

Damar butuh anak. Itulah alasan logis yang dikemukakan kepada istri dan keluarganya. Keluarga Damar yang memang masuk golongan manusia taipan, menerima alasan tersebut. 

Oh. Ayolah. Ayah Damar sendiri juga memiliki istri dua. Itu karena Ibunya Damar dulu sakit-sakitan. Ibunya memberi izin, dan istri kedua Ayahnya ikut merawat Ibu Damar selama enam tahun dan akhirnya harus berpulang kepada sang Khaliq.
Kali ini, pola hidup berulang terjadi. Istri pertama Damar mengizinkan dan meminta syarat. Boleh merawat anak mereka untuk dijadikan anaknya juga. Tentu saja Damar dan Melisa bersedia memberikan anak mereka untuk dirawat madu-nya. Toh Melisa juga sedang mengandung anak kedua.
Luar biasa.

Melisa bertubi-tubi dilimpahi kemudahan hidup. Melisa bersyukur kepada Tuhan, dan tak lupa tetap merawat hubungan dengan Abah Rahman sebagai guru spritual sampai hari ini.

Kawan yang mempertemukan Melisa dengan Abah Rahman, juga tetap berhubungan baik dengan Melisa. 

Melisa juga ringan tangan dalam hal materi kepada kawannya tersebut.

Melisa tidak pernah lupa, bahwa ia sekarang bisa menjalani kenyamanan hidup yang mewah, berkat dikelilingi orang-orayang ang dikirim Tuhan kepadanya. Salah satunya yang paling berjasa besar adalah Abah Rahman.(dra/mk)
Share:
Komentar


Berita Terkini