Debat Cagub Sumut 2018, Pasangan Edy Rahmayadi tak Tahu 'Stunting'

Editor: metrokampung.com
Pasangan calon Gubernur Sumut Edy Rahmayadi-Musa Rajeck Shah dan pasangan Djarot Saiful Hidayat dan Sihar Sitorus beradu ide dan program untuk memajukan Sumut.

MEDAN-METROKAMPUNG.COM
Debat Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Sumut 2018 sesi kedua kembali digelar KPUD Sumut di Hotel Adi Mulya, Medan, Sumatera Utara, Sabtu (12/5/2018) malam.

Dalam debat ini, yang paling perhatian publik adalah pada sesi ke empat.
Djarot Syaiful Hidayat memberikan pertanyaan kepada cagub nomor urut satu Edy Rahmayadi.
Pertanyaannya adalah terkait soal  penanganan angka stunting anak di Sumut yang masih terbilang cukup tinggi.

Dengan spontan, Edy Rahmayadi mengaku tak mengerti apa yang dimaksud dengan stunting.
Bahkan ia sempat bertanya pada calon wakilnya, Musa Rajeckshah. Tapi tetap tak memahami juga. Sehingga Edy meminta Djarot untuk menjelaskan persoalan stunting anak di Sumut.
"Saya belum tahu stunting, kalau saya jawab, kenapa harus pakai yang sulit. Saya tidak menjawab karena saya tak mengerti apa itu stunting," ujar Edy.

Djarot pun menjelaskan apa yang dimaksud stunting dalam pertanyaannya.
"Ini persoalan gagal tumbuh kembang anak yang menyebabkan anak cebol, otaknya rendah. Pada saat golden age 100 hari tidak mendapat asuhan yang baik bagi si bayi," jelas Djarot.
Mendengar penjelasan  Djarot, selanjutnya, Edy pun memaparkan tentang stunting.
"Kalau dibilang gitu, saya kan tahu (stunting). ," ujarnya.
Menurut Edy Rahmayadi, ia akan buat rencana di bagian perawat siaga, ambulan siaga, dan dana siaga.
Selain itu, mobil jenazah siaga bahkan sampai ke tingkat kecamatan untuk mengatasi stunting.
"Supaya ketika saya duduk, saya tak lupa apa itu stunting," ujarnya yang langsung disambut riuh penonton.

Terkait masalah 'stunting' jangan anggap enteng
Kekurangan zat besi dan asam amino yang ditemukan pada balita stunting berdampak terhadap tumbuh kembang, daya tahan tubuh dan fungsi kognitif.
Pakar Kesehatan Bayi dan Anak dr Attila Dewanti, SpA(K) mengatakan, tanpa asupan nutrisi yang cukup, dalam jangka panjang, kekurangan zat besi yodium, zinc dan vitamin A, bisa mengakibatkan terjadinya penurunan IQ.
"Parahnya bila ini dibiarkan meningkatkan dan risiko penyakit seperti obesitas, diabetes mellitus, jantung koroner, hipertensi, dan osteoporosis," katanya di Jakarta belum lama ini.
Tidak hanya menjadi masalah kalangan bawah, stunted atau perawakan pendek juga merupakan masalah masyarakat kelas menengah atas.
Data dari WHO 2014, Indonesia menempati urutan ke-17 dari 117 negara dengan prevalensi wasting (perawakan kurus) dan stunting (perawakan pendek) yang tinggi pada balita.

Ada sekitar 14 persen balita wasting, dan balita stunting mencapai proporsi tertinggi yaitu 35 persen.
Selain jumlahnya yang cukup tinggi di Indonesia, balita stunting menggambarkan kejadian kurang gizi yang dampaknya bukan hanya secara fisik, tetapi justru pada fungsi kognitif.

Christofer Samuel Lesmana selaku Brand Manager Milna, menegaskan nutrisi yang cukup selama periode emas atau 1000 Hari Pertama Pertumbuhan Si Kecil, berperan penting dalam mengantisipasi dampak dari masalah gizi kompleks.

"Saat periode emas ini, otak, otot dan tulang rangka berkembang pesat dan ketika Si Kecil genap berusia 2 tahun, perkembangan otaknya sudah sama dengan 80 persen otak orang dewasa,” katanya.

Christofer juga mengingatkan pentingnya momen makan pertama si kecil yang memberikan manfaat baik jangka pendek maupun jangka panjang.

"Manfaat jangka pendeknya adalah, penanaman memori rasa lewat perkenalan ragam rasa dan tekstur sejak dini dan mengurangi risiko alergi," katanya.

Dalam jangka panjang meminimalisir kemungkinan susah makan di kemudian hari dan mudah untuk beradaptasi dengan makanan baru.

Masalah 'stunting' di Kabupaten Langkat
Dalam pemberitaaan Tribun-Medan.com sebelumnya, kalangan ibu rumah tangga yang tersebar pada 10 desa di delapan kecamatan di Kabupaten Langkat, dilanda kecemasan.

Mereka terkejut saat mengetahui banyak balita di daerah ini mengalami stunting, yakni masalah gizi kronis yang disebabkan oleh asupan gizi yang kurang dalam waktu lama, umumnya karena asupan makan yang tidak sesuai kebutuhan gizi.

Ketidaktahuan akan stunting membuat mereka sempat mengira stunting sebagai penyakit aneh dan penyakit baru. Padahal stunting sudah lama menjadi perhatian badan kesehatan dunia (WHO).

Di seluruh dunia, tercatat 178 juta anak menderita stunting. WHO menempatkan Indonesia di peringkat kelima, dengan jumlah penderita stunting sebanyak 7,6 juta atau 37 persen dari total jumlah anak Indonesia di bawah usia lima tahun.

Ironisnya lagi, petugas pusat kesehatan masyarakat (Puskesmas) justru sempat bingung, tidak mengetahui dan terlambat mengantisipasi ancaman ini.

Suriani (34), warga Desa Padang Tualang, Dusun IV Mulia, Langkat, kaget ketika mendengar penjelasan dari pihak Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) yang menyebut anaknya, Alia Putri (2 tahun), mengalami gejala stunting.

"Setiap sebulan sekali, kami disuruh ke posyandu. Nah, waktu itu petugas di sana bilang anak saya, kok, kurus kali. Kayak kena gizi buruk begitu. Saya kaget dan khawatir, kenapa anak saya kena gizi buruk," kata Suriani ketika berbincang di rumahnya, pekan lalu.

Setelah rutin membawa anaknya ke Posyandu, imbuh Suriani, barulah dia mengetahui anaknya mengalami stunting.

"Saya tahunya dua bulan lalu. Dari pihak posyandu bilang anak saya kena stunting. Saya baru kali ini mendengar ada nama penyakit stunting,"  ucap Suriani.

Seperti Suriani, umumnya warga Desa Padang Tualang tidak memiliki pemahaman tentang stunting. Mereka mengira stunting adalah gizi buruk. Padahal, Stunting bisa sama bahkan lebih berbahaya dampaknya dibanding gizi buruk.

Ciri-ciri bayi baru lahir penderita stunting, antara lain tinggi badan kurang dari 46 centimeter, dan berat badan kurang dari 2,5 kilogram. Adapun anak usia dua tahun penderita stunting biasanya punya tinggi badan antara 81,7 centimeter sampai 93,9 centimeter, dengan berat badan 9,7 kilogram sampai 15,3 kilogram.
Suriani menuturkan, selama mengandung putrinya, dia memang jarang makan makanan sehat dan mengonsumsi susu dikarenakan terbentur kondisi ekonomi.

"Saya memang payah makan. Dibelikan susu untuk ibu mengandung pun payah minumnya. Saya memang enggak suka minum susu," katanya.

Belakangan diketahui Suriani tidak hanya memiliki satu anak yang menderita stunting. Anak pertamanya yang bernama Novia Sakira Putri (4,5) juga mengalami gejala serupa.

"Paling besar ini juga kena. Lihatlah, sudah umur 4,5 tahun badannya masih kecil begini. Kemarin ditimbang berat badannya malah turun jadi 11 kilogram. Biasanya 12 kilogram lebih. Kawan-kawannya ada yang 13 kilogram, kalau dia malah turun. Tingginya pun beda dengan kawan-kawannya," katanya.

Warga Dusun IV Mulia lainnya, Ngatiem (36), sama bingungnya dengan Suriani. Dia sempat tidak percaya saat petugas posyandu menyebut anaknya Wahyu Firmansyah (4 tahun 6 bulan) menderita stunting.
"Anak saya sehat kok, cuma memang kurang tinggi saja. Enggak ada sakitnya apa pun anak saya ini. Badannya sehat. Makanya waktu itu terkejut juga waktu dibilang anak saya sakit," katanya.
Berbeda dari Suriani, selama mengandung, Ngatiem mengatakan dia banyak makan makanan yang menurutnya bergizi, termasuk buah-buahan. Dia bilang, buah-buahan ini dikonsumsinya lantaran ingin anak laki-laki.

"Waktu diperiksa kandungan saya, dokter bilang anak saya sehat, gak ada sakit apa-apa. Makanya, saya heran, kenapa kok dibilang anak saya stunting. Oh, rupanya saya baru tahu. Stunting itu kurang tinggi. Ya, namanya ibu dan bapaknya pendek-pendek. Gimana mau tinggi," ucapnya.

Baru Tahu
Kepala Puskesmas Kecamatan Padang Tualang, Aryani, berterus-terang dirinya baru belakangan mengetahui istilah stunting yang dialami sejumlah anak balita di kecamatan tersebut.
"Kalau orang-orang dari Kementerian Kesehatan tidak datang ke sini dan menyampaikan tentang stunting, mungkin kami tidak tahu stunting itu apa. Stunting itu proses pertumbuhan janin ibu hamil di dalam kandungan kurang. Mulai dari makannya dan lain sebagainya. Mungkin ibu mengandung mengalami mual dan muntahnya berlebihan, sehingga kurang asupan gizinya. Itulah makanya ketika anak umur dua tahun baru ketahuan," kata Aryani pada Tribun Medan/tribun- medan.com di ruang kerjanya, pekan lalu.

Dikemukakan Aryani, sampai saat ini masih banyak warga yang keliru memahami stunting. Bahkan tidak sedikit yang tidak terima saat anaknya dinyatakan stunting. Alasan anak yang sehat, lincah, faktor keturunan (karena bertubuh kecil dan pendek), selalu dikemukakan sebagai alasan untuk menampik.
"Anak-anak penderita stunting secara umum memang tidak kelihatan seperti orang sakit. Beda dengan penderita gizi buruk yang berperut buncit dan rambutnya kering kusam," ucapnya seraya menambahkan, umumnya penyebab stunting berkaitan dengan faktor ekonomi.

"Saat ini pemerintah sudah banyak memberikan bantuan Program Keluarga Harapan (PKH)," ujarnya.
Sebagai tindak lanjut terkait stunting ini, Dinas Kesehatan Kabupaten Langkat sudah memberikan bantuan bagi warga yang anaknya mengalami stunting. Bantuan diberikan berupa dua paket per warga yang terdiri dari susu 10 kotak, kacang ijo 4 kg, gula putih 2 kg dan gula merah 4 kg.
"Sudah dikunjungi dan dilakukan tindakan. Begitu juga pemberian makanan tambahan dan penyuluhan. Ada juga pemberian stimunisnya seperti bubur kacang ijo, susu, telur dan pisang. Bantuan tangan ini diberikan melalui perpanjangan tangan Dinas Kesehatan Langkat langsung ke warga dan ibu hamil," katanya.

Kepala Bidang Kesehatan Masyarakat Dinas Kesehatan Langkat, Ansyari, mengatakan informasi adanya warga yang mengalami stunting baru mereka ketahui, pascamengikuti rapat koordinasi dengan Kementerian Kesehatan. Adapun penyebabnya antara lain asupan gizi yang kurang, lingkungan yang kurang baik, serta berbagai faktor lainnya yang sudah dirumuskan oleh Badan Kesehatan PBB (WHO).

Di antara desa tersebut terdiri dari Desa Sematar Kecamatan Bahorok, Desa Secanggang, Desa Kebun Kepala di Kecamatan Secanggang, Desa Pematang Serai Kecamatan Tanjungpura, Desa Padang Tualang Kecamatan Padang Tualang, Desa Paluh Manis Kecamatan Gebang, Desa Securai Utara, Desa Securai Selatan Kecamatan Babalan, Desa Sei Meran Kecamatan Pangkalan Susu dan Desa Perlis Kecamatan Brandan Barat.

"Dari 48 kasus yang ditemukan, 23 kasus di Kecamatan Padang Tualang, sisanya di beberapa kecamatan lain," kata Ansari.

Menurut dia, saat ini Dinas Kesehatan tengah menangani kasus tersebut dengan bekerja sama dengan sejumlah instansi terkait.

"Kita sudah rapat koordinasi lintas instansi untuk penanganan kasus ini. Nantinya balita dengan kondisi tubuh kerdil akan kita berikan kartu BPJS Kesehatan," katanya.
Data Kementerian Kesehatan, provinsi dengan jumlah warga penderita stunting terbanyak adalah Sulawesi Tengah, di mana terdapat 16,9 persen penderita dari total warga. Sumatera Utara sejauh ini berada di urutan paling akhir dengan jumlah penderita 7,2 persen dari total penduduk.(tribunmedan/mk)
Share:
Komentar


Berita Terkini