![]() |
Ilustrasi |
Sumut-metrokampung.com
Sedikitnya ada 235 laporan indikasi tindak pidana korupsi dari Maluku pernah masuk ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) selama periode 2015-2018.
Direktur exksekutif LP3S Manuala Tampubolon SH dalam diskusi "Peran Ideal Media di Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dalam Perspektif Anti Korupsi" di Tarutung Tapanuli Utara Jumat sore, (29/6/2018) menyebutkan laporan kasus yang masuk ke KPK cukup banyak.
"Kasus yang dilaporkan cukup banyak, dalam kurun waktu 2015 sampai 2018 ada 235 laporan dari Maluku yang masuk ke KPK," katanya.
Dari 235 laporan yang masuk, kata Manuala, 80 di antaranya setelah dipelajari tidak terindikasi tindak pidana korupsi, sedangkan 155 laporan lainnya ada indikasi tindak pidana korupsi tetapi masih harus ditelaah lagi guna penyesuaian kewenangan penyelesaiannya karena KPK hanya memproses kasus yang berkaitan dengan penyelenggara negara.
Kendati tidak merinci seberapa jauh proses telaah yang telah dilakukan terhadap 115 laporan, Direktur Exsekutif itu, meyakinkan bahwa apabila indikasi TPK sudah memiliki cukup bukti awal maka segera ditingkatkan ke penyidikan untuk proses lebih lanjut.
"Ada indikasi TPK lebih dekat kepada penyimpangan yang bisa diselesaikan dengan mekanisme koordinasi antarsupervisi yang lain. Ketika ada indikasi TPK perlu dibahas lebih lanjut sampai akhirnya kalau sudah ada bukti permulaan yang cukup, maka akan di tingkatkan ke penyedikan untuk diproses lebih lanjut," ujarnya.
Ditegaskannya, 104 kasus korupsi untuk 89 kepala daerah yang sudah diproses oleh KPK, tersebar di 22 provinsi, terbanyak berasal dari Jawa Barat, yakni 13 orang, kemudian Sumatera Utara sebanyak 9 orang dan delapan orang dari Jawa Timur. Sedangkan dari wilayah Maluku dan Maluku Utara baru 3 orang yang telah divonis bersalah.
Untuk modus TPK, suap berada pada posisi tertinggi sebanyak 52 kasus, penyalahgunaan anggaran sebanyak 20 kasus, kemudian pengadaan barang dan jasa 11 kasus. Menurut Manuala, jika diperhatikan dengan cermat beberapa waktu belakangan ini, tren indikasi suap di kalangan penyelenggara negara di daerah cukup tinggi, terutama dalam bentuk bayaran timbal balik dalam bentuk proyek.
Ada yang diberikan sesudah kepala daerah menjabat, tetapi ada juga yang terkait dengan dukungan proses pencalonan."Sebelum proses Pilkada serentak dimulai, dalam fase penetapan calon di beberapa daerah, kami menemukan di salah satu rumah tim sukses sejumlah uang yang dikumpulkan untuk biaya-biaya awal pencalonan," bebernya.(edison-simon)