Pilkada Serentak Tahun 2018 Sumatra Utara: Partisipasi Pemilih Sepi

Editor: metrokampung.com
Kurangnya Partisipasi Masyarakat Dalam Partisipasi Suara.

Tobasa-metrokampung.com
Tiga faktor pesta pilkada serentak sepi pemilih, "Seperti terjadi disejumlah tempat. Hotlen Marpaung anggota KPPS Kecamatan Siantar Narumonda seraya memperlihatkan kertas suara di kompleks Kantor Camat Siantar Narumonda Kabupaten Tobasa, Rabu (27/6/2018).

Hanya sedikit warga di sini yang menggunakan hak pilihnya dalam pemilihan Gubernur dan wakil Gubernur Sumatra Utara, lain halnya dibanding pemilihan Kepala Daerah Pemerintah Kabupaten pada 2015 lalu.

Target partisipasi pemilih dalam pilkada serentak 9 Desember 2015 lalu, sebesar 80,5 persen yang dipatok Komisi Pemilihan Umum Tobasa.

Kekurangan itu tak melulu penyelenggara pilkada, akan tetapi juga disebabkan peserta calon pilkada serentak dan keadaan sosial yang melingkupinya, padahal legitimasi mayoritas yang berpatisipasi menjadi dasar kepala daerah terpilih menjalankan kelak roda pemerintahannya.



Koordinator Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Dr Jhon Foster Marpaung menilai KPU menghendaki partisipasi tinggi bertujuan mewujudkan agar pemimpin terpilih benar-benar berasal dari mayoritas suara rakyat, tapi apa boleh buat banyak faktor yang membuat partisipasi pemilih timpang.

"Pertama, terbatasnya pilihan pasangan calon dari yang diajukan partai politik, karena mayoritas daerah pilkada yang hanya diikuti oleh dua pasangan calon tidak secara maksimal mengakomodasi aspirasi masyarakat pemilih," ujar Foster dalam keterangannya kepada MK rabu siang (27/6/2018) waktu setempat.

Keterbatasan pasangan calon kepala daerah berpartisipasi harus diakui terbentur bukan pada kualitas, sehingga mau tak mau partai politik berpaling pada pasangan calon populer dan bermodal besar yang pada akhirnya membuat masyarakat terpaku pada pilihan yang ada.

"Kedua, perbedaan antara janji kampanye dengan realitas politik nasional. Terlihat, mayoritas materi kampanye pasangan calon adalah pemberantasan korupsi, pengelolaan pemerintahan yang transparan dan pengalokasian anggaran yang memihak rakyat," kata Jhon Foster.

Sayang seribu sayang, janji kampanye tak sebangun dengan apa yang terjadi di tingkat nasional, diperparah oleh praktik-praktik koruptif yang berulang sepanjang tahun.

"Jangan salahkan ketika keraguan masyarakat merumuskan toh siapa pun pemimpin yang memutar roda pemerintahannya tak benar-benar bersih dari praktik kotor korupsi.

Faktor terakhir, imbuh Foster, turunnya aktivitas sosialisasi dan pendidikan pemilih oleh penyelenggara pilkada serentak, mau tak mau harus diakui bahan kampanye yang disajikan KPU masih dipahami secara politis justru diterjemahkan oleh pasangan calon kepala daerah, sementara jumlah kegiatan sosialisasi tatap muka oleh penyelenggara pilkada berkurang.

"Lihat saja, aktivitas sosialisasi KPU pun kurang melibatkan jumlah aktor, tokoh dan pegiat pendidikan pemilih di masyarakat sehingga ajakan datang ke TPS menggunakan hak suaranya berkurang," terang dia.(team_e/j/t/s)
Share:
Komentar


Berita Terkini