Harvest Festival di Desa Sitoluama Kabupaten Toba Diwarnai Tradisi Batak 'Mardege'

Editor: metrokampung.com

Sitoluama, metrokampung.com
Harvest Festival merupakan Festival panen perayaan tahunan yang terjadi sekitar saat panen utama di suatu wilayah. Mengingat perbedaan dalam iklim dan tanaman di seluruh dunia, festival panen dapat ditemukan di berbagai waktu di tempat yang berbeda. 

Festival panen biasanya menampilkan pesta, baik keluarga maupun publik, dengan makanan yang diambil dari hasil panen yang datang hingga jatuh tempo sekitar waktu festival. 

Banyak makanan dan kebebasan dari kebutuhan untuk bekerja di ladang adalah dua fitur utama dari festival panen: makan, kegembiraan, kontes, musik dan romansa adalah fitur umum dari festival panen di seluruh dunia.




Harvest Festival yang diinisiasi Kelompok Sadar Wisata Sitoluama yang diketuai oleh Corry Paroma Panjaitan itu, mendapat perhatian khusus dari Dispadbud Toba hingga mendapatkan kesempatan untuk digelar. 

Plt Kadis Disparbud Toba Rusti Hutapea Mpd saat dikonfirmasi metrokampung. com pada Sabtu (20/8/2022) di Gompar Sumuring Desa Sitolu ama Kecamatan  Laguboti Kabupaten Toba menjelaskan, dahulu, setiap musim panen, para petani di tanah Batak melakoni kebiasaan mardege meski zaman menawarkan kemudahan dengan berbagai penemuan berupa teknologi pertanian tepat guna. Mereka konsisten merawat warisan para leluhur.

Mardege merupakan bagian dari proses memanen padi. Aktivitas mardege dimulai dengan memotong batang padi dan mengumpulkannya. Batang-batang padi yang disabit kemudian ditumpuk lazim disebut 'Tibalan' (tumpukan batang padi). 

Ketika seluruh batang padi kelar dipotong dalam satu areal sawah, para petani kemudian mengangkat tibalan-tibalan itu untuk disusun rapi menjadi satu tumpukan raksasa yang dinamai luhutan. Padi disusun demikian rupa dengan batangnya ke arah luar lingkaran sedangkan bulir menghadap ke pusat.

Membentuk luhutan memerlukan keterampilan, dengan fondasi yang kuat, memungkinkan luhutan bisa disusun rapi membentuk lingkaran baknya seperti benteng yang kokoh. 

Semakin tinggi, luhutan justru semakin kokoh, tahan terhadap guncangan dan terpaan angin. Biasanya, luhutan didiamkan kurang lebih seminggu supaya bulir-bulir padi lebih mudah dirontokkan saat akan mardege.

Mardege dilakukan dini hari sebelum fajar menyingsing, dengan membawa lampu petromaks, lampu gas, hingga suasana pagi yang gelap berubah jadi benderang dan mardege pun bisa dimulai.

Keunikan dari tradisi mardege ini bukanlah pada teknik merontokkan bulir padi secara tradisional, melainkan pada upaya merawat silaturahim antar sesama petani sekaligus semangat melestarikan warisan leluhur berupa marsiadap ari (bergotong-royong). Sejak mengenal kehidupan bercocok tanam, leluhur Batak mencipta beragam kearifan lokal sekaligus memetik hikmah dari kebiasaan itu.

Sebelum mardege, para petani musti menyiapkan sejumlah alat berupa Jual (ampang besar), Raga (tampi untuk menyaring dan mengipas padi), Amak (tikar dari anyaman bayon), Panunuhan Bahul-bahul Parrasan (wadah menampung padi).Dupang Siotanan (kayu yang ujungnya bercabang seperti ketapel serta bambu untuk pegangan saat mardege) dan Hodong ni Pakko (dahan enau sebagai payung untuk berlindung dari terik matahari).

Gabah yang terkumpul tentu belum bersih, karena masih bercampur dengan lapung (bulir padi yang tidak berisi), sebagian durame maupun serpihan daun padi. Para kaum hawa selanjutnya membersihkannya dengan cara Mamurpuri. 

Gabah kotor itu ditampung dalam wadah bernama jual (bakul). Lalu seorang perempuan menjunjung Jual berisi gabah tadi lalu menumpahkannya secara pelan sementara, rekannya mengipasi tumpahan padi itu dengan raga (tampi) agar bulir padi terpisah dari kotoran seperti serpihan daun padi, abu, durame dan lapung.

Beberapa pasang kaki sedang mardege, yakni memijak, memilin dan memelintir batang padi agar bulir padi rontok dari tangkainya. Mardege, salah satu kearifan lokal masyarakat Batak Toba. 

Sekarang ini, tidak banyak lagi anak muda yang mengenal tradisi mardege. Dan tinggal segelintir pula orang yang terampil mardege dengan baik. Dengan makin lunturnya tradisi ini, dikuatirkan sejumlah falsafah yang turut menyertai tradisi ini terancam ikut terpinggirkan. Padahal, filosofi-filosofi itu relevan sepanjang masa bagi kehidupan kita. Maka, tradisi mardege ini amat perlu dilestarikan.

Membangkitkan kembali tradisi mardege adalah mengenang sejarah  kehidupan leluhur kita di masa lalu yang mencerminkan kebersamaan yang hakiki .(e/mk)
Share:
Komentar


Berita Terkini