Karo, metrokampung.com
MHS (15 Tahun) korban dugaan penyiksaan hingga meninggal dunia oleh anggota TNI Sertu Riza Pahlivi (Terdakwa) pada saat pengamanan tawuran di perbatasan Kel. Bantan, Kec Medan Denai, Kel. Tegal saru Mandala 3, Kec. Medan Tembung hingga kini belum mendapatkan Keadilan.
Tindak pidana yang dialami MHS dewasa ini sedang berproses di Peradilan Militer Medan dan telah memasuki agenda persidangan tuntutan dari Oditur Militer Medan. Lenny Damanik yang merupakan ibu kandung dari MHS saat ini terus memperjuangkan keadilan untuk anaknya.
Alih-alih mendapatkan keadilan, Lenny justru kembali menelan pil pahit pasca dalam kasus ini Terdakwa tidak ditahan. Tuntutan Oditur Militer Letkol. Tecki Waskito, S.H., M. H hanya 1 tahun penjara terhadap Terdakwa dan dan denda 500.000.000 (Lima ratus juta rupiah) Subsider 3 bulan Kurungan. Serta restitusi sebesar 12 Juta Rupiah.
Tuntutan yang sangat ringan terhadap Terdakwa telah melukai rasa keadilan terhadap Lenny dan menggambarkan sulitnya mendapatkan keadilan di Peradilan Militer. Peristiwa kelam yang dialami MHS berawal ketika hendak membeli makanan yang bertepatan melintasi dilokasi tawuran.
Diketahui saat itu adanya pembubaran masa tawuran oleh Polisi, Satpol PP dan Babinsa, MHS yang hanya sekedar melihat tawuran menjadi korban dugaan penyiksaan oleh Terdakwa hingga meninggal dunia.
Atas adanya dugaan tindak pidana tersebut Lenny Damanik membuat Laporan sebagaimana tertuang dalam Tanda Terima Laporan/Pengaduan Nomor TBLP-58/V/2024 tertanggal 28 Mei 2024. Tidak hanya membuat laporan Lenny juga mencari keadilan untuk anaknya dengan mengadukan tindak pidana tersebut ke Komnas HAM, LPSK dan KPAI.
Menyikapi tuntutan yang sangat ringan tersebut, LBH Medan sebagai lembaga yang fokus pada Penegakan Hukum dan HAM sekaligus kuasa hukum Lenny Damanik menduga Oditur Militer tidak memberikan keadilan kepada korban. LBH Medan menilai jika tuntutan Terdakwa sangat ringan dan disinyalir sebagai bentuk impunitas terhadap Terdakwa. Tidak hanya itu LBH juga Menilai tuntutan Oditur Militer menggambarkan Matinya Keadilan di Peradilan Militer.
Perlu diketahui Terdakwa sebelumnya didakwakan dengan Dakwaan Pertama yaitu melanggar Pasal 76c jo Pasal 80 Ayat (3) Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Atau Dakwaan Kedua dengan Pasal 359 KUHP. Dimana pasal tersebut ancaman hukumannya 15 Tahun Penjara dan denda 3.000.000.000. (Tiga Miliar Rupiah).
Namun parahnya, Odirtur Militer hanya menuntut Terdakwa 1 Tahun Penjara dan denda 500.000.000 (Lima ratus juta rupiah) Subsider 3 bulan Kurungan. Serta restitusi sebesar 12 Juta Rupiah.
Maka, demi tegaknya hukum dan keadilan LBH Medan mendesak Majelis Hakim yang menangani perkara a quo memberikan keadilan kepada korban dengan menjatuhkan putusan yang berat sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Serta menjatuhkan hukuman pemecatan dari TNI terhadap Terdakwa. Serta mendesak Pemerintah untuk segera merevisi UU Peradilan Militer karena tidak memberikan keadilan pada korban dan sudah sepatutnya secara hukum anggota TNI yang diduga melakukan tindak pidana terhadap sipil diadili di Peradilan Umum.
Desakan Putusan tersebut bukan tanpa alasan, dimana tindakan Terdakwa telah bertentangan dengan UUD 1945, Undang-undang 39 Tahun 1999 tentang HAM, Undang-Undang No. 5 Tahun 1998 Tentang Pengesahan Convention Against Torture And Other Cruel, Inhuman Or Degrading Treatment Or Punishment (Konvesi Menentang Penyiksaan Dan Perlakuan Atau Penghukuman Lain Yang Kejam, Tidak Manusiawi, Atau Merendahkan Martabat Manusia) , Konvensi Hak-Hak Anak, ICCPR dan DUHAM.
Serta perbuatan diduga Terdakwa telah bertentangan dengan Sumpah Parjurit dan Sikap Delapan TNI.(amr)
