Mewujudkan Program Pariwisata Danau Toba Super Prioritas 'Nol KJA'

Editor: metrokampung.com
KJA Kini Diduga Mencemari Ekosistim Danau Toba.

Tobasa-metrokampung. com
Keramba dan air Danau Toba menurut hasil kajian terbaru LIPI:
Pusat Penelitian Limnologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) baru merilis hasil penelitian soal ekosistem Danau Toba untuk perbaikan kualitas air. Kajian ini menyebutkan, perlu mengurangi jumlah keramba jaring apung untuk memperbaiki kualitas air di sana.

Pemerintahan Presiden Joko Widodo jadikan Danau Toba salah satu destinasi ekowisata andalan Indonesia, dua permasalahan Danau Toba yang jadi bahasan yakni, pengendalian keramba jaring apung (KJA) yang menyebabkan kualitas air makin rusak dan pengendalian transportasi demi keamanan perairan.

Sejak 2009,  LIPI melakukan kajian dengan mengintegrasikan hidrodinamika (pergerakan air) dengan seluruh komponen penyusun ekosistem Danau Toba, baik fisik, biologi, kimia, hingga meteorologinya.


Hidrodinamika ini jadi penting, sebagai syarat utama pemahaman sistem di danau, mempelajari pola arus dan pola pergerakan material. Ia juga modal awal menentukan zonasi pemanfaatan ruang di badan air danau.

Saat ini, kapasitas keramba jaring apung sudah dianggap berlebihan. LIPI pun merekomendasikan batasan jumlah produksi ikan per tahun harus memperhitungkan daya dukung lingkungan.

Dilansir Republika. co. id (11/8), Hadid Agita Rustini, peneliti Hidrodinamika dan kualitas air Puslit Limnologi LIPI mengatakan, keseluruhan KJA tak boleh lebih dari 543 dengan maksimal produksi 1.430 ton untuk mendapatkan kualitas air pada kondisi oligotrofik.

”Itu angka peneliti. Agar danau itu bersih dan masuk ke dalam standar oligotrofik. Artinya, tidak tercemar,” kata Fauzan Ali, Kepala Pusat Penelitian Limnologi LIPI.

Soal kapasitas produksi, katanya, merupakan rekomendasi dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) kepada Gubernur Sumatera Utara. Keputusan Gubernur Sumatera Utara Nomor 188.44/213/KPTS/2017 maksimum kapasitas produksi 10.000 ton per tahun.

Saat ini,  produksi ikan budidaya di Danau Toba enam kali lipat dari rekomendasi yakni, 65.000 ton per tahun. Menurut Agita, kotoran atau feses ikan membuat kondisi perairan danau ini buruk.

Bahkan dari hasil pemodelan penelitian, Danau Toba tak mengalami eurotrofik (hipertrofik) tanpa ada KJA, meski mendapatkan pencemaran dari sungai ataupun kebiasaan membuang sampah sembarangan.

Begitu juga, danau tetap eurotrofik (hipertrofik) tanpa pencemaran dari sungai namun masih ada aktivitas KJA. ”Ternyata sungai tidak terlalu signifikan berpengaruh (pencemarannya), hanya di bagian muara. jika dibandingkan kehadiran KJA,” katanya.

Berdasarkan data citra satelit Spot VII pada 2016, terdapat sekitar 11.282 KJA di Danau Toba. Jumlah ini tersebar pada tujuh kabupaten, 80% di Haranggaol, Kabupaten Simalungun, sebanyak 7.700 dengan kepadatan tinggi sekitar 1.000 KJA per 300×300 meter. Air sudah tidak dapat dikonsumsi.

”Jadi yang paling merah (status eurotrofik/hipertrofik) daerah Haranggaol. Warna merah itu artinya paling rusak kualitas air karena memang kepadatan KJA tinggi.”

Kemudian, katanya,  ada Parapat, Silalahi,  dengan kepadatan KJA tinggi dan status kualitas air hipertrofik (paling rusak).

Pencemaran ini, katanya, berada kedalaman sampai 20 meter, 20-30 meter, kondisi air oligotrofik (baik).

Pada simulasi LIPI, kondisi oligotrofik pada kedalaman 0-20 meter hanya memiliki kepadatan lima petak per 300×300 meter. Pada kepadatan 50 petak dan 10 petak, lokasi di Haranggaol dan Silalahi ini masih mengalami mesotrofik dan eurotrofik pada kedalaman 0-3 meter.

Meski belum memiliki kajian, jika rekomendasi dilakukan, penghapusan dari 11.282 ke 543, tidak memerlukan waktu lama bisa memulihkan kualitas air di Danau Toba. Kala, penyebab pencemaran– feses ikan– ini berkurang, danau dapat memproses air jadi anorganik.

Fauzan menegaskan, jika Danau Toba memiliki waktu 78 tahun untuk mengembalikan ekosistem seperti semula. ”Ekosistem  memiliki kemampuan membersihkan diri sendiri, jika berada dalam daya dukung yang baik,” katanya.

Sebenarnya, kata Fauzan, tak perlu menunggu 78 tahun jika mau mendorong pariwisata Danau Toba dengan nol KJA,  karena pada dasarnya danau bukan tempat keramba. ”Untuk dinikmati keindahannya, manfaat air, bukan dikotori, tapi dirawat.”(team/mk)
Share:
Komentar


Berita Terkini