Deli Serdang, metrokampung.com
Rapat Paripurna DPRD Kabupaten Deli Serdang pada Senin (23/6/2025) berubah dari forum kehormatan menjadi tontonan memalukan. Alih-alih menjadi ruang legislasi yang menjawab kepentingan publik, paripurna justru menampakkan wajah buram krisis kepemimpinan dan degradasi etika politik di tubuh legislatif.
Puncak kekisruhan terjadi saat Pimpinan DPRD memilih walk out meninggalkan sidang. Bukan sebagai upaya mediasi, melainkan simbol keputusasaan di tengah kegagalan menyatukan arah dan visi kelembagaan. Ditambah lagi tiga pimpinan DPRD tidak hadir saat paripurna berlangsung.
Ketegangan mencuat ketika sejumlah fraksi besar—PDIP, Demokrat, PKS, Gerindra, dan lainnya—memprotes absennya agenda strategis seperti pembahasan Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) dan KUA-PPAS Perubahan APBD 2025. Justru, pimpinan sidang memaksa pembahasan langsung pada RPJMD, keputusan yang dianggap mencederai mekanisme musyawarah formal.
“Kalau pembahasan KUA-PPAS ditunda, rakyatlah yang menjadi korban. Jangan sampai kita dipersalahkan karena mengabaikan tanggung jawab ini,” tegas Timur Sitepu dari Fraksi PDIP dalam interupsinya.
Ketua Fraksi Demokrat, Ikhwanul Ismar, bahkan menuding pimpinan dewan sengaja mengulur agenda penting, meski Bupati telah mengirimkan surat resmi permintaan pembahasan LKPD dan KUA-PPAS. Parahnya, pimpinan DPRD juga disebut tak hadir dalam rapat Bamus, yang semestinya menjadi ruang penentu arah sidang.
“Ini jelas pelanggaran terhadap prinsip akuntabilitas. Kalau pimpinan tak patuh prosedur, lalu apa bedanya dengan pengabaian rakyat secara terbuka?” tegasnya.
Kepemimpinan DPRD Lumpuh, Rakyat Terluka
Walk out Pimpinan DPRD di tengah kekisruhan hanya memperdalam luka publik. Saat forum justru membutuhkan kendali moral dan keteladanan, ia memilih meninggalkan tanggung jawab. Sebagian anggota DPRD bahkan mencoba menahannya untuk tetap memimpin sidang, namun sia-sia.
Sikap ini menjadi pukulan telak bagi harapan rakyat—terutama terkait program vital seperti Universal Health Coverage (UHC) atau Berobat Gratis, yang berpotensi mandek akibat tertundanya pembahasan P-APBD.
Bupati Deli Serdang, dr. H. Asri Ludin Tambunan, yang hadir di awal sidang, mengingatkan pentingnya kolaborasi lintas lembaga demi keberlangsungan program pelayanan dasar. Ia menyayangkan konflik yang justru menyandera kepentingan masyarakat.
“Kalau KUA-PPAS tak segera dibahas, maka banyak program seperti UHC atau berobat gratis yang terancam tidak berjalan. Akibatnya, rakyat lagi-lagi jadi korban,” ujar Bupati.
Publik menilai walk out pimpinan dewan sebagai contoh buruk dalam etika kenegaraan dan meminta penyelesaian melalui jalur Bamus atau dimediasi tokoh netral. harusnya, konflik ini tak bisa dibiarkan berlarut-larut karena berpotensi melumpuhkan fungsi DPRD secara keseluruhan.
Rakyat Bertanya: Siapa Sesungguhnya Yang Mereka Wakili?
Meski sidang dilanjutkan oleh 36 dari 50 anggota DPRD (memenuhi kuorum), masyarakat keburu kecewa. Di mata publik, DPRD Deli Serdang tampak lebih sibuk mengurus konflik internal daripada menunaikan mandat rakyat.
“Kami tidak mau waktu rakyat terus dikorbankan. LKPD dan KUA-PPAS harus mulai dibahas besok,” kata Antony Napitupulu dari PDIP dengan nada tegas.
Namun, citra telah rusak. Kepercayaan publik terkikis. Masyarakat kini bertanya-tanya: Apakah DPRD masih layak disebut wakil rakyat, atau hanya panggung bagi permainan politik sesaat?
Transparansi, akuntabilitas, dan keberpihakan pada rakyat bukan sekadar jargon. Itu adalah prinsip yang seharusnya menjadi nyawa dari setiap keputusan politik. Kini, DPRD Deli Serdang menghadapi pilihan: memulihkan kepercayaan rakyat, atau tenggelam dalam sejarah sebagai lembaga yang gagal menjadi penjaga amanat demokrasi.(rel/sim/smsi)